Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kelaparan Buku dan Politik Bahasa

10 November 2018   14:33 Diperbarui: 10 November 2018   14:34 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pembahasan tentang industri pemikiran yang tertuang melalui bentuk sebuah buku, tetap saja menarik. Studi pada kawasan Asia dan Afrika menunjukan rendahnya tingkat konsumsi buku, hal itu diperparah dengan ketidakmampuan memproduksi buku berdasarkan kapasitas internal, serta lemahnya budaya membaca.

Persoalan ini dekat dalam makna reflektif dengan apa yang terjadi pada konteks kita, literasi media masih menjadi problematika mendasar. Pertanyaan pentingnya, bagaimana interaksi yang saling terkait dalam membangun stimulasi tingkat melek media terutama buku, dengan kebudayaan keseharian yang lebih dominan bertutur, ditambah lagi tumpulnya peran negara guna membangun minat serta ketertarikan membaca, terutama melalui fasilitasi ketersediaan akses buku dan pusat perpustakaan secara massif.

Dititik tersebut, terdapat konsepsi books hunger -kelaparan buku yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, menempatkan Asia dan Afrika sebagai negara terbelakang. Hal tersebut terkait dengan korelasi positif pada angka performa tingkat ekonomi yang juga rendah. Dengan demikian, terbagun keterhubungan sinergis antara kemampuan melakukan konsumsi buku dengan kemajuan sebuah bangsa.

Melalui perjalanan kesejarahan bangsa, kehadiran lembaga penerbitan negara lebih banyak didominasi oleh karya sastra yang merupakan warisan kolonial. Budaya masyarakat dikonstruksi terpisah dari sumber-sumber ilmu pengetahuan, sehingga budaya lisan jauh lebih maju dibandingkan aspek tertulis yang terstruktur serta terdokumentasi.

Kelebihan budaya literer adalah kemampuannya untuk diverifikasi karena itu pula dapat dikembangkan dari waktu ke waktu. Situasi ini tentu berbeda dengan budaya lisan yang berkembang dan kehilangan fase evaluatif kritis karena tidak terdokumentasi secara sistematik.

Pilihan dunia ketiga dalam konstruksi kepentingan barat, yang rendah tingkat produksi dan konsumsi media atas produk buku, sesungguhnya lebih didorong oleh aspek pragmatik atas kebutuhan dasar dalam tahap pemenuhan fisik. Hal ini seolah membenarkan diktum bahwa keberlanjutan kehidupan yang bermuasal dari urusan perut, lebih menjadi penting dibanding isi kepala. Disamping itu, taraf ekonomi negara-negara dikawasan Asia dan Afrika tidak memiliki keistimewaan lebih untuk memenuhi kebutuhan diluar primary needs.

Kita masih berada dipersimpangan jalan, maka perlu upaya keras pemerintah secara bersama dengan seluruh penduduk negeri untuk memulai budaya maju dalam konteks produksi dan konsumsi makna, melalui produk media buku. Tantangan negara postkolonial adalah hadirnya kesadaran palsu yang dibangun bangsa penjajah untuk melemahkan kemandirian pihak terjajah. Indikatornya mudah terlihat, serapan masuk ke sektor pendidikan serta permulaan produk media cetak yang lebih banyak didominasi oleh karya sastra romansa dibanding reflektif menggugah kesadaran akan keterjajahan.

Kuasa Politik Bahasa

Sesungguhnya skema penggunaan bahasa menjadi sarana sekaligus instrumen dalam struktur penguatan kekuasaan. Hal ini terjadi dalam masa penjajahan maupun paska kemerdekaan, karena hakikat kekuasaan tidak berbeda antara penjajahan kolonial dengan penguasa lokal. Dalam hal ini, kekuasaan akan selalu berupaya untuk mempertahankan kepentingan.

Penggunaan struktur dan pilihan kata dalam bahasa, dimaknai sebagai tameng untuk mempertahankan kuasa. Menentukan posisi dominasi, membangun hegemoni, menciptakan ketertundukan, melemahkan kemampuan berpikir abstraksi dan menyebabkan kekurangan nutrisi bagi munculnya pemikiran kritis.

Kemampuan untuk mampu menumbuhkan budaya literer dalam bahasa yang menciptakan interaksi reflektif secara konstruktif, akan membangun budaya manusia merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun