Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LV, Chopper dan Sneakers dalam Interaksi Simbolik

20 Juni 2018   12:33 Diperbarui: 20 Juni 2018   12:33 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mendadak saling sindir! Logo dan simbol merek LV pada sebuah ikat pinggang, berbalas soal tentang Chopper dan Sneakers yang tidak kalah mewah. Perdebatan selalu mengikutsertakan argumentasi rasional masing-masing pihak menurut perspektifnya. Satu yang hilang adalah keberpihakan pada kehidupan masyarakat.

Beberapa merek produk yang eksklusif tersebut sesungguhnya adalah hal yang biasa, tetapi menjadi tidak biasa karena penggunanya adalah elit negeri ini. Kenapa jadi masalah? Bukankah penampilan adalah bagian dari upaya untuk memperkuat sebuah citra? Tentu saja benar, dan betul bila penampilan sesuai dengan kapasitas kemampuan untuk mengakses berbagai benda duniawi bermerek kelas atas tersebut.

Problemnya, merek menjadi simbol atas sebuah pesan dan makna. Pada pemahaman interaksi simbolik kita akan dapat menangkap relasi makna atas kehadiran merek-merek premium itu. 

Pertama: pengguna merek tersebut mempunyai kemampuan untuk mengkonsumsinya, Kedua: merek berkelas itu sekaligus mengidentifikasi kelas sosial, Ketiga: brand premium jelas jauh dari kebutuhan dasar, lebih dari sekedar needs tetapi terdorong oleh wants.

Nah, jadi apa yang salah? Toh konsumerisme telah menjadi bagian dari pergerakan kehidupan bermasyarakat kita. Tanpa disadari kolektif kelas menengah yang semakin besar semakin mudah tergiur dengan merek yang menjadi simbol kemapanan dan kemewahan, sekaligus menjadi status sosial pembeda tersebut.

Apa pasal yang tidak tepat? Kegagalan membangun merek lokal yang kuat, dibarengi dengan ketidakmampuan para pemimpin memberikan keteladanan akan komitmen penggunaan merek lokal.

Disaat masyarakat harus mengikat pinggang karena harga-harga yang naik, tentu simbol ikat pinggang LV menjadi tidak sesuai konteks sosial. Sementara itu, ketika masih banyak anak-anak sekolah kita yang bertelanjang kaki dan harus bertaruh nyawa dengan rakit dan sampan untuk bersekolah, maka chopper dan sneakers menjadi sebuah kemewahan yang tidak terperkirakan.

Secara logis, merek dan simbol yang tampil adalah representasi dari sifat kedirian (selfhood) bahkan penuh kesadaran. Dengan demikian, para elit tanpa terkecuali, yang bersikap ambigu, dan kerap berbeda dalam citra yang ditampilkan atas laku keseharian, sesungguhnya tengah menyingkap karakter kesejatian diri tanpa polesan citra.

Inkonsistensi adalah indikasi dari sesuatu yang disamarkan. Kita mengenal konsep plain folks dalam strategi propaganda untuk memposisikan diri sebagai rakyat jelata, dengan menggunakan berbagai atribut yang umum layaknya publik, sehingga diasumsikan sang tokoh adalah bagian dari publik dan mewakili kepentingan publik. Lantas jika atribut tokoh berbeda dari apa yang dipergunakan secara umum oleh masyarakat, maka mereka tengah mewakili kepentingannya sendiri.

Karakter kerakyatan, sebagai wujud keberpihakan publik, tentu tidak lahir sekejap mata. Konsultan politik kerap luput memperhatikan, karena citra yang berbeda dari keseharian membutuhkan detail pengelolaan tokoh secara keseluruhan. Selain itu, diluar persoalan citra dan tampilan, serta urusan simbol maupun pesan dalam makna, kita memang akan berkutat pada fokus gagasan besar yang diusung.

Tentu saja pada tahun politik, sekedar jargon dan program dapat dibuat seketika, menggunakan semantik yang kuat dalam mengidentifikasikan diri atas kelompok masyarakat, tetapi sekalilagi perhatikan dengan jeli komitmen dan konsistensi tokoh dalam berlaku, bertutur dan bertindak, yang sesuai dengan apa yang disampaikan pada berbagai panggung maupun forum kampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun