Jelang pilkada dan momentum besar pilpres, maka rilis hasil survei marak dilakukan. Reformasi dan alam demokrasi memberi ruang, sekaligus membuka sumbat kebebasan berpendapat.
Pada ruang berdemokrasi, survei mendapat tempat sebagai pengawal proses politik yang transparan dan akuntabel, sekaligus menjadi penyeimbang.
Pasalnya, momentum politik adalah perhelatan besar dengan kapitalisasi yang juga tidak kalah besarnya. Maka kemudian, kepentingan praktis menjadi tantangan yang harus ditaklukkan.
Prinsip utama survei sebagai sebuah pendekatan ilmiah dalam melakukan kalkulasi politik secara terpadu, menekankan persoalan etika didalamnya.
Tentu tujuan dari sebuah survei harus dinyatakan secara jelas. Setelah itu, hal pertama secara teknis yang dibutuhkan adalah kejelasan metodologi dari penelitian atas survei tersebut.
Kelihaian dalam memilih sampel responden dari populasi masyarakat adalah kemampuan penguasaan dasar ilmu statistika, dengan demikian teknologi dalam pengumpulan data serta pengolahannya menjadi penting.
Dukungan finansial adalah faktor selanjutnya yang menjadi sarana penting dan tidak dapat dielakkan. Kemampuan pengambilan sampel yang tepat sesuai sebaran jelas membutuhkan biaya.
Problemnya kemudian muncul secara bersamaan, keingintahuan ilmiah berhadapan dengan aspek pragmatisme. Maka bukan tidak mungkin hadir survei pesanan dengan tujuan spesifik melalui pembenaran hasil data penelitian yang sesuai.
Membentuk pemahaman publik dalam sebuah hasil survei adalah bagian kerja lanjutan pasca survei itu sendiri. Opini publik bisa dibiarkan terbuka, atau kemudian dikonstruksi sesuai ekspektasi survei.
Kini konsultan politik, menjadi bidang pekerjaan baru, pembentukan citra dan opini publik adalah fokus kerja yang dilakukan, termasuk didalamnya melakukan survei.
Apakah survei pesanan tidak diperbolehkan? Jawabnya boleh tentu saja, sepanjang tidak terdapat intervensi hasil. Hal yang disepakati dalam ilmu statistik adalah hasil boleh salah tetapi tidak boleh bohong.