Perubahan era demokrasi dalam setiap etape sejarah negeri ini, belum sepenuhnya menterjemahkan makna demokrasi, yang sejatinya menjadikan rakyat sebagai episentrum.
Peralihan fase pada era demokrasi, hanya mengubah pelaku politik, tetapi bukan perilakunya. Karena itu kendala yang dihadapi pun menjadi serupa.
Beruntung, pembatasan waktu kekuasaan telah dirumuskan sebagai upaya mereduksi ambisi atas syahwat politik. Tapi problem dasarnya sebangun dengan periode dimasa lalu, publik hanya menjadi pelengkap penderita dan tidak berdaya, dijadikan permainan angka saat pemilu berlangsung.
Menarik mencermati apa yang terjadi di Malaysia, peta politik berubah, kelompok pro status quo runtuh pada dinding pertahanan terakhir melalui pemilu. Barisan oposisi secara dramatik, menjalin kolaborasi, dengan tokoh lawas sekaligus politisi senior Dr Mahatir yang dahulu merupakan rival politik.
Statement koalisi Pakatan Harapan sebagai pemenang pemilu di negeri Jiran, hendak menempatkan penegakan hukum sebagai hal yang utama, dalam penjabaran praktisnya, dimaknai sebagai evaluasi atas investasi asing dan hoaks, termasuk melakukan revisi perpajakan.
Dalam konteks politik, kursi kekuasaan adalah magnitude terbesar. Dan terkait hal tersebut, pilihan kawan maupun lawan adalah soal kepentingan temporer yang cair, bukan soal relasi permanen.
Sentimen psikologis pemilih dipermainkan. Khususnya mencermati hasil pemilu Malaysia, maka para kontestan politik mencoba menggunakan memori atas kenangan dimasa lalu, sebuah romantika politik. Ditengah apatisme politik generasi muda, romantisme sesungguhnya menjadi strategi yang menyasar pemilih non pemula, yang mampu mengkomparasikan pengalaman riil.
Lantas common enemy dimunculkan, isu korupsi dan investasi asing menjadi bahan diskusi yang dikembangkan, lalu diresolusikan dalam bentuk penegakan hukum. Dalam kerangka retorika yang apik, gagasan yang dimunculkan dalam jargon masing-masing koalisi politik baik Barisan Nasional sebagai petahana, maupun si kuda hitam Pakatan Harapan.
Pada akhirnya, sumbatan politik sebagai hal yang ditengarai kelompok oposisi menjadi biang masalah dipersetujui publik, hal itu terbukti dalam bentuk dukungan pada koalisi Pakatan Harapan yang memenangkan kompetisi.
Dengan segenap kemampuan incumbent, untuk melakukan upaya menarik simpati publik, termasuk melalui janji peningkatan imbalan atas bantuan penghidupan secara langsung kepada rakyat, hal tersebut sudah tidak menjadi menarik. Kali ini tentang trust yang tidak terbangun.
Publik yang kecewa, tentu memiliki ekspektasi bahwa transisi demokrasi akan membawa harapan baru bagi perbaikan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, itulah Pakatan Harapan.