Pekan lalu, saya termenung mendengarkan pengalaman seorang rekan yang berprofesi sebagai dokter disebuah rumah sakit. Tertegun saya mendapatkan cerita bahwa periode ini, adalah saat yang berat baginya berhadapan dengan pasien.
Era JKN melalui implementasi BPJS Kesehatan sebagai sebuah program nasional, tidak pelak menambah volume pasien. Sebuah kondisi yang seharusnya, akan menyenangkan baginya.
Betapa tidak, bagi seorang dengan profesi dokter, maka kesempatan bertemu pasien adalah saat dimana aspek keilmuan yang dimilikinya bermanfaat, sehingga bisa bermakna keberadaan diri dan pengetahuannya bagi pasien yang membutuhkan.
Hal tersebut merupakan prinsip ideal, karena keahlian dan kemahiran profesi dokter tentu juga sangat bergantung seberapa sering seorang dokter beroleh pengalaman praktis berhadapan dengan kasus penyakit.
Disamping itu, tentu tidak dipungkiri bila volume pasien secara ekonomis berkontribusi secara akumulatif pada penghasilan seorang dokter. Sesuatu yang normal dan wajar, selayaknya bidang profesi lainnya. Toh, jalan menjadi seorang dokter pun tidak mudah.
Tetapi persoalannya yang hendak dibahas pada tulisan ini bukan terletak dipersoalan nominal, meski kita bisa berdiskusi panjang akan hal itu mulai dari penetapan nilai premi, tarif hingga imbal jasa di era JKN ini.
Fokus yang mengemuka, dari hasil curhat rekan dokter ini, justru berkaitan dengan harga diri bukan sekedar harga layanan. Kehormatan profesinya diruntuhkan, bahkan sampai titik terendah kehilangan wibawa.
Kenapa sampai demikian? Pertama: hilangnya kapasitas dokter dalam penentuan diagnosa pasien, kemampuan penentuan indikasi penyakit seolah semakin dibatasi (baca: persempit), dengan menggunakan acuan pola casemix Indonesia yang dikenal sebagai InaCBGs, padahal jelas ilmu medis bukanlah matematika. Ilmu penyakit adalah soal kompetensi, dalam probabilitas penegakan diagnosa.
Kedua: pasien berlaku selayaknya second doctor, di era informasi membuat pasien dengan mudah mengakses berita kesehatan via Google. Situasi ini tentu tidak salah, problemnya adalah kewenangan dokter kerap dilampaui, hanya karena lebih percaya informasi Google.
Ketiga: terciptanya distrust publik pada profesi dokter. Hal ini merupakan bentuk dari persepsi tentang ketamakan dokter culas nan curang, seolah hendak mengeruk harta pasien untuk pengobatan dan penyembuhan.
Sudut pandang yang terakhir ini, merupakan kondisi yang terbilang sangat vital, menurutnya, hal itu tercipta lantaran lemahnya perlindungan atas profesi dokter. Termasuk sebagai konsekuensi, sekaligus menjadi generalisasi atas potensi buruknya pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan, yang ditimpakan secara membabi buta.