Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memaknai Diksi Keterlambatan Bayar Klaim Program JKN

1 November 2017   16:25 Diperbarui: 1 November 2017   16:27 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Informasi keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan dibeberapa rumah sakit menyebar, diforum-forum komunikasi via whatsapp group perumahsakitan, tersiar kabar tentang beberapa rumah sakit yang terancam bangkrut karena hal tersebut. Kalau tidak percaya, cek saja Google dan ketik "bpjs terlambat bayar klaim rs", maka postingan terbarunya ada di channel youtube salah satu media televisi nasional.

Ulasan tentang pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, juga dibahas pada salah satu surat kabar nasional, mulai dari tidak meratanya kualitas pelayanan bagi peserta, hingga persoalan klasik yakni tarif layanan yang masih dibawah nilai pembiayaan sesungguhnya, hal ini khususnya berdampak bagi institusi swasta.

Konsekuensi dari mundurnya jadwal pembayaran tersebut, akhirnya membuat rumah sakit swasta mengalami berbagai kendala, mulai dari tersendatnya pembayaran kepada tenaga kerja, para sejawat dokter dan spesialis yang berpraktik, serta pada kewajiban pihak lain seperti farmasi dan obat-obatan, Lebih jauh lagi, ditengah kondisi tersebut solusi jangka pendeknya adalah set up fasilitas pembiayaan perbankan dengan skema khusus kredit talangan klaim BPJS Kesehatan.

Hal ini sekilas nampaknya menjadi formula mujarab, tetapi tidak mampu menjawab "how much and how long?" seberapa besar tagihan dapat difasilitasi dan seberapa lama kepastian pembayaran dari pihak penyelenggara JKN dapat dipastikan. Pihak industri perbankan, tentu saja tidak membuat pola pembiayaan tanpa disertai margin didalamnya, lalu siapa yang akan menanggung biaya tersebut?.

Pernyataan yang menarik justru datang dari petinggi layanan kesehatan nasional tersebut, dinyatakan bahwa sampai saat ini belum terjadi gagal bayar klaim, yang kerap terjadi masih menurutnya, adalah ketidaklengkapan berkas dokumen sehingga waktu pencairan klaim mundur. Statement ini menurut pendapat pribadi, agaknya bertolak belakang dengan berita yang disampaikan pada muka tulisan ini.

Ketika terdapat dua fakta serta informasi berlawanan, maka kita tidak dapat memastikan siapa yang benar diantara keduanya, tetapi seperti yang sudah disampaikan diatas tulisan ini, maka agaknya kondisi yang sesungguhnya yang terjadi, mungkin relatif seperti apa yang dirasakan para pelaku yang terlibat didalamnya. Pola komunikasi dengan menggunakan diksi yang halus, menyamarkan realita adalah kemampuan semantik para pemimpin kita dinegeri ini.

Sekali lagi, hal tersebut tidak menghilangkan makna dalam esensi yang sebenarnya. Banjir hanyalah genangan, dan nilai mata uang yang anjlok merupakan bentuk koreksi atas nilai tukar uang! Apa yang nampak berbeda, sesungguhnya sama secara hakikat. Ketika para penguasa lihai bermain diksi dan piawai menggunakan semantik, maka kita seolah tidak mengenal arah serta dikaburkan dari realitas.

Disisi yang bersamaan, proyeksi atas defisit penyelenggaraan BPJS Kesehatan diperkirakan terus mengalami peningkatan sejak implementasi mulai 2014, kemungkinan akan tembus defisit Rp10 triliun pada tahun ini. Lagi-lagi, Anda bisa cek Google dengan cukup mengetik  "defisit bpjs 2017". Tentu dapat dibayangkan, sebagai pengelola program, terjadi kekurangan pembiayaan, maka yang dapat dilakukan adalah mekanisme "buying time", tapi ini sekaligus "killing time" bagi pemilik tagihan.

Entah mengapa ilustrasi First Travel terlintas, pemegang janji untuk pemberangkatan umroh terus menerus melakukan reschedule waktu keberangkatan jamaah dengan dalih dokumen, sementara realitanya kas perusahaan kosong dengan nilai tidak lebih dari Rp10 juta saja, sementara dana kumpulan jamaah terkonversi menjadi dipergunakan untuk pembelian asset dan gaya hidup yang glamour. Semoga saja tidak demikian.

Secara bersamaan, kalaulah BPJS Kesehatan berharap pemerintah akan melakukan tindakan penutupan atas defisit pengelolaan, tentunya kondisinya juga tidak mudah, karena estimasi penerimaan pajak versi CITA (Center for Indonesia Taxation Anlysis) sampai akhir tahun diperkirakan hanya mencapai 89% dari target yang sebesar Rp1.714 triliun, bandingkan dengan besaran kebutuhan belanja negara yang sekitar Rp2.133 triliun, utamanya bagi pemenuhan kebutuhan pembiayaan infrastruktur ditahun ini.

Lalu bagaimana nasib para pelaku dunia kesehatan? Entahlah, tetapi semoga saja badai ini cepat berlalu. Terlebih usulan kenaikan premi pembiayaan dan skema cost sharing menjadi secondary option dalam solusi masalah defisit tersebut, maklum saja, tahun politik tidak dipungkiri telah menjelang, dan tematik populer menjadi komoditi. Bila hal itu terjadi, tentu sangat disayangkan dan jelas merugikan banyak pihak lain!.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun