Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Awali dengan Tungku, Menuju Hidup Berkelanjutan

12 April 2018   10:13 Diperbarui: 12 April 2018   10:32 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu terakhir ini, saya tengah gandrung-gandrungnya menjalani hari-hari bertajuk, "Going Traditional, Going Sustainable". Dalam Bahasa Indonesia, lebih-kurang bermakna hidup secara tradisional dan berkelanjutan. Bentuknya, saya mulai dengan mengubah cara memasak yang awalnya menggunakan kompor gas dan listrik menjadi hanya menggunakan tungku berbahan bakar kayu.

CIta-cita untuk hidup secara tradisional memang sudah mulai merasuki pikiran saya sejak Sekolah Dasar dulu. Saya selalu senang duduk di depan tungku di dapur rumah nenek saya. Beliau memang lebih senang memasak dengan tungku. Padahal, anak-anaknya sudah membelikan kompor minyak, dan juga kompor gas. Namun, tetap saja tungku menjadi pilihannya untuk memasak.

Ketika berada di rumah nenek, tempat tujuan utama saya kala terbangun dari tidur adalah tungku. Tujuannya memang menghangatkan diri. Namun, aroma beraneka kayu yang terbakar dengan harum masakan yang muncul lambat laun membangun memori tersendiri. Bagi saya, aroma tersebut selalu mengingatkan saya tentang desa dan kehidupan guyub di dalamnya. Juga teringat dengan desa dengan udara yang sejuk dan kondisi yang hening.

Berada di depan tungku membuat saya juga senang dengan nyala api. Rasanya, yah seru saja. Melihat gemericik api yang terbakar dan menjalar ke sepanjang kayu. Tidak jarang, nenek saya berusaha mengendalikan nyala api dengan menggunakan air agar masakan tidak gosong.

Bagi saya yang masih kecil, nyala api mengundang saya untuk bereksperimen kecil dengan panas. Tak jarang, saya memasukkan plastik, kertas, atau benda-benda lain di sekitar tungku. Tujuannya, tentu mengamati kondisi benda bila terkena nyala api. Meskipun bisa dipastikan hasilnya, tetapi, saya tetap melakukannya, lagi, dan lagi.

Beranjak dewasa, saya jarang ke rumah nenek, bahkan kini terbilang tidak pernah. Alasannya, tentu karena beliau sudah wafat. Namun, kenangan tentang tungku dan aroma masakannya tetap melekat di ingatan saya. Tentunya, memori ini kemudian mulai saling berkelindan dengan wawasan tentang hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Secara kebetulan, dalam satu dasawarsa terakhir ini, saya kerap mengunjungi desa. Salah satu aktivitas favorit saya adalah makan dengan nasi liwet di tengah kebun atau hutan. Nasi liwet sendiri dimasak dengan menggunakan panci yang kerap disebut kastrol. Karena berada di tengah hutan atau kebun, tentu kompornya pun seadanya, yaitu: kayu bakar. Pun dengan sayur dan lauk-pauknya yang dimasak dengan metode yang sama.

Meskipun terkesan primitif, tetapi rasa masakannya lebih nikmat dibandingkan dengan nasi yang dimasak menggunakan kompor atau pun penanak nasi otomatis (rice-cooker). Konon, nasi yang dimasak dengan liwet ini lebih sehat. Apalagi bila dicampur dengan rempah-rempah seperti: serai, daun salam, bawang merah, dan cabai rawit. Tentunya, kandungan gizi dalam nasi menjadi lebih banyak.

Katanya lagi, nasi yang dimasak dengan liwet lebih ramah bagi penyandang diabetes. Menurut sepupu yang memiliki diabetes, kadar "gula" dalam nasi liwet lebih rendah bila dibandingkan dengan nasi "buatan" penanak nasi otomatis. Hal ini membuatnya lebih mampu mengendalikan kadar gula darah dalam tubuhnya.

Kembali ke gaya hidup tradisional. Setelah pindah ke rumah terkini, saya mulai membeli tungku kayu bakar. Sebenarnya keinginan ini sudah lama terpendam. Hanya saja, zaman now sulit untuk menemukan penjual tungku di Bandung. Beruntung, ketika sedang jalan-jalan ke desa di dekat rumah, saya mendapati sebuah motor yang tengah membawa tungku kayu bakar. Langsung, saya merapatkan diri kepada sang pengemudi dan membeli satu tungkunya seharga 60 ribu Rupiah.

Sebagai amatir dalam memasak menggunakan tungku, tentu saya harus belajar banyak hal, terutama cara menyalakan dan mengendalikan api. Hal ini berkaitan dengan kayu sebagai bahan bakar utama tungku. Syarat utamanya cukup sederhana: kayu harus benar-benar kering agar menghasilkan panas yang maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun