Jika melihat sejarahnya, El Clasico kadang memang menjadi "panggung politik dadakan", khususnya bagi para pendukung kemerdekaan Catalunya. Inilah contoh politisasi sepak bola paling terang-terangan di era kiwari.
Secara umum, hasil imbang tanpa gol di El Clasico menunjukkan satu hal mencolok dari kedua tim, yakni keduanya sama-sama belum berada di level performa setinggi tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, mereka sudah tancap gas sejak awal musim. Kompetisi dan pacuan gelar juaraLa Liga seolah hanya milik berdua.
Terbukti, baik El Real maupun El Barca sama-sama gagal meraih poin penuh di beberapa laga yang seharusnya bisa dimenangkan. Beruntung, tim-tim kuda hitam macam Sevilla dan Atletico Madrid tak mengambil kesempatan, seiring performa inkonsisten mereka.
Jika situasi ini terus berlanjut, tentunya kita akan melihat sebuah dekadensi kualitas dari kompetisi La Liga, dengan laju dua kuda pacu utama yang agak loyo, tanpa ada gangguan berarti dari tim lainnya. Kalaupun ada, gangguan itu hanya ada di pekan-pekan awal, antara lain lewat Real Sociedad dan Osasuna. Setelahnya, nihil.
Praktis, cara terbaik untuk membantah anggapan dekadensi kualitas ini adalah kembali berprestasi di tingkat Eropa, seperti yang pernah ditorehkan wakil-wakil Negeri Matador beberapa tahun terakhir. Cara ini menjadi salah satu bantahan paling sahih, atas cap "Liga dua tim" atas kompetisi La Liga.
Alternatif lain, para kuda pacu La Liga kompak meningkatkan level konsistensi performa setelah jeda musim dingin. Salah satu caranya antara lain dengan aktif berbelanja pemain di bursa transfer musim dingin.
Untuk saat ini, La Liga memang terlihat agak lesu, tapi berhubung musim ini masih belum separuh jalan, masih ada sedikit waktu lagi, untuk setidaknya memperbaiki keadaan. Selebihnya, mari kita lihat bersama, apakah La Liga musim ini berakhir dengan wajah muram atau tidak.