Mohon tunggu...
Yordan Panggabean
Yordan Panggabean Mohon Tunggu... -

Cinta Indonesia, Trainer Pengembangan Diri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rusuh Pasca Pilpres!

7 Juni 2014   21:24 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:48 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengamati kampanye pemilihan presiden kali ini memang membawa keseruan tersendiri. Mulai dari pemilihan legislatif, lebih terlihat tokoh-tokoh pemimpin partai politik bersuara disana sini dibanding suara para calon legislatif, seolah-olah para caleg hanyalah ribuan fans konser musik rock yang menampung sang artis ketika melompat dari panggung ke arah penonton untuk diusung sembari bernyanyi, berteriak, kegirangan, entah karena lagu yang dinyanyikan atau karena sensasi dipuji puja yang pekat dalam konser tersebut. Keseruan ini berlanjut ketika berbagai upaya koalisi (kerjasama, terserah saja menyebutkannya) dilakukan. Saling bertemu, sembari tersenyum di hadapan ratusan kamera dan diakhiri dengan pernyataan-pernyataan yang sebenarnya tidak mengatakan apapun menjadi ritual rutin yang dilakukan pemimpin parpol, bahkan ada yang harus menyisakan konflik internal partainya sebagai konsekuensi pernyataan dukung mendukung ini. Seru dan haru. Seru, karena pemilihan presiden kali ini harus mengikuti peraturan ketat, yaitu  bahwa pasangan calon dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR. Haru, karena beberapa tokoh harus mengelus dada atau menitikkan air mata, ketika tidak lagi mampu menagih janji parpol untuk menjadi presiden atau wakil presiden, ter..lal..u.. Sejauh ini, semuanya dapat dilihat sebagai dinamika demokrasi, mengingat untuk ukuran negara yang baru mengalami kebebasan pemilu, Indonesia cukup mampu mematangkan diri dalam proses demokrasi, jika dibandingkan dengan Thailand, yang ketika masih bergulat dengan kudeta militer yang juga cenderung membutuhkan waktu untuk membangun pemerintahan sipil yang baru. Bahkan bentuk kampanye yang disebut hitam, negatif, abu-abu dan sebagainya juga bentuk dari dinamika yang terjadi. Jika menggunakan analogi dalam olahraga, maka pilpres 2009 (Mega-Prabowo, SBY-Boediono, JK-Wiranto) merupakan perlombaan, apalagi pilpres 2004 dengan lima pasangan yang menjadi kandidatnya. Sedangkan pilpres kali ini lebih tepat disebut dengan pertandingan, satu lawan satu. dalam berlomba, masing-masing peserta fokus pada upaya dan massa yang perlu dipengaruhi, sebab menyerang calon lain hanya akan menambah "musuh" baru yang dapat dimanfaatkan "musuh" lainnya. Sedangkan dalam pertandingan, sekedar menguatkan diri sendiri dirasa belum cukup, lawan juga mesti dilemahkan. Akan tetapi, isu bahwa akan ada kerusuhan pasca pilpres jika salah satu dari calon tidak terpilih, menyentakkan saya. Pertandingan tidak lagi antar pemain, namun mulai menakuti penonton yang memang akan memilih siapa pemenangnya. Keseruan dan terkadang diselingi kelucuan menjadi hilang, justru rasa mual mulai muncul. Sekedar menyampaikan latar belakang masing-masing capres (baik atau buruk) tidaklah masalah sebagai bagian pembelajaran berdemokrasi dan meneliti detail rekam jejak para kedua pasangan capres-cawapres ini, toh, masyarakat juga mengikuti dan mempelajarinya, akan tetapi menjadi berbeda ketika psikologi masyarakat juga dipermainkan. Takut (dihasilkan oleh teror), merupakan kondisi yang efektif untuk menggiring seseorang atau suatu kelompok. Rasa takut dapat memunculkan keputusan-keputusan yang irasional, yang hanya didorong oleh bayangan akan apa yang akan terjadi. Uniknya, saya mendapati isu ini marak beredar dikalangan perempuan, yang adalah agen kampanye efektif di era sosial media ini. Bangsa kita juga belum selesai dengan berbagai peristiwa kekerasan, yang hanya meninggalkan pertanyaan dalam batin. Kerusuhan Mei 1998, berbagai konflik sosial di daerah dan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kekerasan seksual pada anak-anak telah membangun rasa takut tersendiri dalam masyarakat. Dan si penyebar isu rusuh pasca pilpres ini, tahu betul kekuatan dari teror ini. Namun teror tidak akan menghasilkan apapun selain kepasifan dan kelemahan. Rasa takut adalah alat yang digunakan orang yang kalap, yang kehilangan kreativitas dalam melakukan berbagai upaya kemenangan, disebabkan sempitnya cakrawala berfikir dan terburu waktu. Rasa takut hanya dibangun oleh penakut, yang seluruh eksistensi diri, sumber daya dan mimpinya telah dipertaruhkan di pilpres kali ini, seolah-olah Ibu Pertiwi hanya bisa dibangun dengan caranya atau olehnya. Rasa takut hanya disebarkan oleh pembunuh kebenaran, sebab kemunafikan tidak bertahan ditengah kejujuran. Rasa takut adalah ilusi, sebab keberanianlah yang menjadikan bangsa ini ada, bebas dan merdeka. Seperti yang disampaikan Simon Sinek, "Leadership is not about the next election, it's about the next generation". Kepemimpinan bukanlah tentang pemilihan, tetapi tentang generasi. Biarlah pilpres kali ini menjadi momen untuk membangun generasi baru Indonesia. Generasi yang berani, memiliki impian dan mewujudkannya. Generasi yang berani, membela kebenaran, memperjuangkan keadilan. Generasi yang berani, menatap masa depan dan tak terhalang kelamnya kondisi bangsa. Generasi yang berani, mengangkat muka, bertarung dengan bangsa lain. Generasi yang berani, hidup dalam kemajemukan. Generasi yang berani, mengatakan "Aku anak Indonesia!"


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun