Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sunny Tanuwidjaya dan Sonya Depari: Seirama tapi Tak Setarian

8 April 2016   07:23 Diperbarui: 8 April 2016   13:54 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiba-tiba saja dua nama ini menjadi bahan gosip paling top di lapak-lapak nitizen.  Satunya Sunny Tanuwidjaya. Dia seorang aktivis politik sekaligus staf khusus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Meski Ahok masih memberikan pernyataan berubah-ubah terkait apa dan siapa Sunny- dari mengaku anak magang sampai terakhir hanya diakui sebagai teman,  namun Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) sudah melekatkan status Sunny sebagai staf khusus Ahok.

Satunya lagi Sonya Ekarina Sembiring Depari. Dia adalah siswi sebuah SMA di Medan Sumatera Utara yang juga seorang sebagai model. Sonya menjadi terkenal karena ‘berani’ memaki Polwan yang hendak menilangnya dan mengaku sebagai anak Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari saat Sonya dan teman-temannya melakukan konvoi usai mengikuti Ujian Nasional (UN).  Akibatnya sungguh fatal karena awalnya Arman Depari sempat menyanggah pengakuan Sonya. Namun setelah ayah Sonya meninggal dunia karena serangan jantung, Arman Depari lantas mengaku jika Sonya anak kakaknya. Dalam kekerabatan suku Karo, biasanya keponakan diaku juga sebagai anak sang paman.

Agar tidak membosankan karena blog keroyokan ini sudah terlalu hingar-bingar dengan bahasan politik, terlebih dahulu kita akan bicara soal Sonya. Seperti sudah menjadi ritual tahunan, anak-anak kelas III SMA dan SMP selalu merayakan hari terakhir UN dengan aksi corat-coret. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman Pak Harto masih berkuasa. Tidak berlebihan rasanya jika kita kita katakan sebagian dari kita dan para pejabat negeri ini, baik sipil maupun militer, juga pernah- setidaknya ikut-ikutan konvoi, ritual tahunan tersebut. Tentu tidak ada setitik pun kata pembenaran untuk aksi yang satu ini. Namun juga bukan “dosa besar” yang kelak akan berakibat fatal saat siswa-siswi yang melakukan ritual itu hendak maju dalam pemilihan kepala daerah, bahkan presiden. Penulis sendiri pernah melakukan hal itu meski tidak seheboh anak-anak zaman sekarang. Kalau tidak salah ingat, hanya ada sekitar 10 tanda tangan disertai cuitan teman akrab di baju putih itu, plus beberapa semprotan pilox warna merah dan biru.

Sudah tepat adanya imbauan dan nasehat dari para pemangku agama, pemangku adat, pendidik dan aparat kepolisian agar kebiasan itu dihindari. Namun namanya anak-anak muda, dan dulu juga melihat seniornya melakukan hal itu, tetap saja ingin melestarikan ‘budaya’ lintas generasi itu meski harus siap-siap dirazia polisi dan Satpol PP.

Jadi polisi yang melakukan razia terhadap siswa-siswi  SMA di Medan yang melakukan konvoi dan aksi corat-coret di baju seragam, sudah sangat tepat. Namun mengingat hal-hal seperti disebutkan di atas, rasanya menjadi berlebihan jika kemudian dilakukan tilang terhadap anak-anak itu. Tidak adakah pendekatan yang lebih persuasif? Penulis justru salut ketika Ipda Perida Panjaitan yang dimaki-maki Sonya tetap ramah dan tersenyum untuk kemudian melepasnya dengan diiringi nasehat agar Sonya dan teman-temannya segera pulang ke rumah.

Ingat yang dilakukan Sonya bukanlah tindakan kejahatan, bukan pula kriminalitas. Wajar dengan usianya yang masih sangat muda, bersikap sedikit “kurang ajar” dengan memaki Polwan dan membawa-bawa nama anggota keluarga besarnya yang berpangkat  jauh di atas si Polwan.  Meski penulis mengutuk tindakan Sonya yang memaki Ipda Perida, namun dapat memaklumi ketika Sonya membawa nama salah seorang anggota keluarganya. Pertama karena disulut emosi akibat kegembiraannya terganggu. Kedua karena ingin menjadi ‘pahlawan’ bagi teman-temannya. Jujur saja, banyak di antara kita yang mengaku ini-itu saat ditilang polisi. Ada yang mengaku keluarga jenderal ini, mengaku anak direktur itu, atau mengunggulkan profesinya seperti “saya wartawan”, “saya anggota dewan”, saya pendekar kampung” dll.

Persoalan justru menjadi rumit ketika Irjen Arman Depari tidak mengakui Sonya sebagai anaknya. Tentu hal itu benar dan memang faktanya Sonya bukan anak kandung Arman Depari. Namun mengingat kekerabatan tadi, tentu ada alasan lain di balik ‘pengingkaran’ yang dilakukan Arman Depari. Mungkin saja beliau merasa malu dengan tingkah polah keponakannya. Mungkin juga hal itu dimaksudkan sebagai pelajaran agar keponakannya tidak ‘menjual’ namanya untuk hal-hal seperti itu. Di tengah kebingungan karena tidak menyangka anaknya akan menjadi bahan cemoohan di internet, dan dirinya dipanggil Polresta Medan, Makmur Depari- ayahanda Sonya meninggal dunia.

Penyesalan dan air mata tidaklah cukup untuk mengembalikan semuanya. kita doakan semoga ayah Sonya tenang di alam sana, mendapat tempat yang sesuai dengan amal perbuatannya. Dan kepada Sonya, semua telah terjadi. Tentu yang terbaik adalah menyesali dan berjanji untuk tidak melakukan perbuatan konyol itu lagi karena akibatnya bisa sangat fatal. Namun terus menyesali diri, sehingga bisa berakibat pada masa depannya, juga tidak benar. Tidak perlu berandai-andai: andai tidak ikut konvoi, andai tidak mengaku anak Arman Depari, andai tidak memaki Polwan,  andai Arman Depari tidak ‘lupa’ pada dirinya dan seabreg andai lainnya. Mengutip ujaran Joko Pekik di acara ILC beberapa waktu lalu: sing uwis yo wis (yang sudah ya sudahlah)…

Sunny Tanuwidjaya

Sekarang soal Sunny Tanuwidjaya. Berubah-ubahnya ‘status’ Sunny di mata Ahok menjadi  pertanyaan besar publik. Tercatat, hampir lima kali Ahok merubah predikat Sunny dari mulai anak magang yang tengah membuat disertasi doctoral sampai hanya sebatas ‘teman’.  Ahok terlihat gugup setiap kali ditanya tentang Sunny. Terlebih setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan cegah tangkal (cekal) terhadap Sunny agar yang bersangkutan tidak kabur keluar negeri. Sunny diduga kuat memiliki peran penting dalam kasus suap yang dilakukan Presiden Direktur Agung Podomoro Land Ariesman Widjaya kepada Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M. Sanusi untuk memuluskan Raperda tentang Zonasi wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 serta Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara. Kedua Raperda tersebut dimaksudkan sebagai payung hukum proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta yang tengah dikerjakan Agung Podomoro dan sejumlah perusahaan milik konglomerat lainnya.

Sunny diyakini- setidaknya oleh pengacara M Sanusi, sebagai penghubung  dalam kasus suap tersebut. Meski Ahok telah membantah Sunny mencatut namanya untuk melakukan kasi tersebut, namun publik tentu memiliki pandangan berbeda. Apalagi Ahok mengakui sering mengajak Sunny bertemu dengan teman-teman konglomeratnya.  Bukan hanya soal urusan hubungan dengan konglomerat, Ahok pun mengajak Sunny ketika bertemu dengan bos partai seperti Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dll. Benarkah seseorang yang selalu diajak dalam pertemuan-pertemuan penting hanya sebatas teman? Sebatas anak magang? Apakah bukan tangan kanannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun