Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat TV One Bukan Lagi TV Oon

10 Juni 2016   14:48 Diperbarui: 10 Juni 2016   18:22 5794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Motto “Memang Beda” yang disandang TV One sempat mendapat pembenaran dalam ajang pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 lalu. Berita-berita TV milik Aburizal Bakrie- yang saat itu menjabat sebagai ketua umum Partai Gokar, beberapa kali berbeda dengan berita yang ada di media lain, terutama Metro TV- milik konglomerat media yang juga bos Partai Nasdem, Surya Paloh. Ketika gelaran pilpres berakhir di mana pasangan Jokowi-JK yang dijagokan Metro TV menjadi pemenang, eksistensi TV One yang menjadi ‘corong’ pasangan Prabowo-Hatta, sempat drop.

Pada masa itu masyarakat disuguhi meme-meme lucu yang menggambarkan perbedaan TV One dengan Metro TV. Namanya pecundang, kebanyakan meme untuk TV One berisi sindiran tajam, bahkan hujatan. Salah satunya di sini

Jelang Pilkada DKI, TV One kembali berseberangan dengan Metro TV. Penyebabnya tidak lain karena Partai Nasdem sudah menyatakan dukungan kepada calon petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sedangkan Golkar justru ikut dalam gerbong PDIP dan Gerindra yang akan melawan calon independen. Produk jurnalistik kedua TV terkait pilkada DKI kembali berseberangan, termasuk acara-acara di dalamnya. Jika Mata Najwa di Metro TV dipuji karena memberi panggung untuk Ahok, maka  Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One menjadi bahan hujatan karena dianggap menjadi panggung untuk menguliti Ahok.

Host ILC Karni Ilyas sempat di-bully nitizen setelah mengangkat tema “Siapakah Penantang Ahok”. Nitizen marah karena acara tersebut dianggap tidak seimbang di mana musuh-musuh Ahok lebih mendominasi acara. Kehadiran dua pendukung Ahok yakni Anton Medan dan Bestari Barus – Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI, dianggap tidak representatif. Pembelaan Karni Ilyas jika tim kreatif ILC sudah mengundang Ahok, namun yang bersangkutan menolak hadir dalam acara tersebut, tidak mampu menolong dirinya dari kejamnya hujatan nitizen.  

Namun setelah tongkat kepemimpinan Partai Golkar beralih dari Ical ke Setya Novanto, konstelasi politik ikut berubah. Setnov- demikian mantan ketua DPR itu biasa dipanggil, bisa dipastikan akan mengarahkan Golkar untuk mendukung Ahok. Terlebih keberhasilan Setnov menyingkirkan Ade Komarudin yang didukung Wapres Jusuf Kalla dalam pemilihan ketua Golkar kemarin, tidak terlepas dari campur tangan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan- sahabat baik Ahok. Setnov juga bukan tipe petarung ideologi. Seperti umumya politisi Golkar yang dilahirkan dari kamar-kamar ber-AC, Setnov lebih suka mengkalkulasi keuntungan materi dari pada menjalani petarungan politik demi ideologi. Tagline “Kekaryaan” menjadi pembenar elit Golkar untuk selalu berada dalam lingkar kekuasaan.

Ical yang bergeser posisi menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, tentu harus ikut mengamankan keputusan partainya. Itu berarti TV One akan bergerak senada dengan Metro TV. Ini tentu akan melahirkan opini-opini maha dasyat nyaris tanpa penyeimbang karena TV di bawah naungan MNC Group belum selevel dalam pemberitaan. Sedang Kompas TV masih terlalu asyik sendiri dengan inspirasi-inspirasinya.

Itulah realitas politik. Bergerak dinamis mengikuti kepentingan tuannya. Kepastian dalam politik adalah ketidakpastian itu sendiri. Musuhnya musuhku adalah temanku. Satu-satunya janji yang bila diingkari tidak berdosa adalah janji politik. Keabadian hanya milik kepentingan. Hanya politik yang mengajarkan cara untuk membunuh ibunya. Syarat utama menjadi politisi hebat adalah kesiapannya untuk dipenjara. Jika masih percaya kalimat membutuhkan titik, kamu tidak akan pernah menjadi politisi sejati.

Para politisi kawakan pasti tahu ungkapan-ungkapan semacam itu. Maka nasehat yang paling sering diucapkan seorang politisi senior kepada yuniornya adalah: jangan pernah berharap aku memberi jalan (politik) karena sekali aku beri jalan, maka hal pertama yang kamu lakukan adalah membunuhku (melengserkan dari jabatannya).

Ada banyak contoh ungkapan-ungkap tersebut bukan hanya hiperbola. Salah satu yang menarik adalah kisah Frans Lukman di Cilacap, Jawa Tengah.   

Menjelang lengsernya Presiden Soeharto, kekuatan PDI di bawah pimpinan Soerjadi melemah. Perubahan politik yang sangat cepat, memaksa sejumlah kadernya melompat ke PDI kubu Megawati. Saat itu DPC PDI pro Soerjadi Cilacap dipimpin oleh M. Tohir, ayah Frans Lukman. Bukannya membela posisi ayahnya yang mulai terjepit, Frans Lukman justru mendemo ayahnya. Frans Lukman yang saat itu tinggal di daerah Karang Pucung- dekat Majenang, Cilacap bagian Barat, mendatangi rumah ayahnya di perumahan Gunung Simping -perumahan  elit di Kota Cilacap, dengan membawa ratusan massa. Bukan hanya mendemo, mereka juga merusak rumah tersebut dan mencoret-coret dindingnnya dengan kata-kata kasar. ‘Beruntung” Tohir bisa selamat dari kepungan massa. Alhasil, setelah itu, Frans Lukman mengambil alih kepengurusan PDI dan menyatakan setia kepada Megawati.

Aksi Frans Lukman tentu saja mendapat protes dari pengurus PDI kubu Megawati. Namun dukungan massa dan kepiawaian Frans Lukman membuktikan politik tega memakan anaknya sendiri. Kader-kader PDI yang sebelumnya sudah babak-beluk di masa Orba, harus gigit jari setelah Megawati mengakui kepengurusan PDI Cilacap di bawah pimpinan Frans Lukman. Setelah PDI kubu Mega berubah menjadi PDI Perjuangan agar bisa ikut Pemilu 1999, posisi Frans Lukman semakin tidak tergoyahkan. Frans Lukman sukses menjadi ketua DPRD Cilacap dua periode. Apakah Frans layak disebut sebagai anak durhaka karena mendemo, ‘menghancurkan’ rumah dan mengkudeta jabatan ayahnya? Tidak. Andai saat itu Frans tidak segera mengambil-alih kursi ayahnya, maka jabatan ketua PDIP Cilacap akan jatuh ke orang lain karena Mega pasti tidak mau menerima Tohir sekalipun yang bersangkutan nangis darah. Ini yang disebut strategi politik: membakar pintu agar musuh tidak masuk rumah. Setelah Frans menjadi ketua DPRD, sang ayah pun diangkat menjadi salah satu staf ahli DPRD Cilacap!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun