Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catat! Soeharto Bukan Koruptor

6 Desember 2018   18:16 Diperbarui: 6 Desember 2018   18:36 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto. Foto: KOMPAS/JB Suratno

Menyebut mantan penguasa Orde Baru Soeharto sebagai koruptor, merupakan kesalahan fatal karena mengingkari azas presumption of innocent. Putusan bersalah terhadap Yayasan Supersemar tidak bisa dijadikan justifikasi.

Fakta pemerintahan Orde Baru melanggengkan dan menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak terbantahkan. Kasus Yayasan Supersemar adalah contoh nyata bagaimana penyelewengan kekuasaan dilegitimasi. Kebijakan dibuat untuk mengeruk kekayaan negara bagi keluarga dan kroni-kroninya. Fakta ini dikuatkan dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.  

Tetapi menyebut Soeharto koruptor adalah soal lain. Harus didasarkan pada fakta hukum.   Pasal 4 Tap Nomor XI/MPR/1998 yang memerintahkan agar "upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan presiden Soeharto" merupakan keputusan politik yang (sesuai kedudukannya saat itu) kemudian dijadikan dasar suatu penindakan secara hukum (pidana).

Jika pun masih dianggap berlaku, sebab hingga saat ini masih terjadi pro-kontra terhadap beberapa produk MPR setelah lembaga tersebut tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan dilarang mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur pasca Amandemen UUD 1945, Tap MPR adalah produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) bukan pidana.

Benar, pada 31 Maret 2000, Kejaksaan Agung telah menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan korupsi tujuh yayasan yang dipimpinnya, dan perkaranya masuk tahap persidangan pada Agustus 2000.

Tetapi ingat, Soeharto belum pernah duduk sebagai terdakwa, dan belum pernah ada putusan pengadilan yang menyatakan Soeharto bersalah dalam kasus korupsi. Bahkan pada 11 Mei 2006 kejaksaan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena selalu gagal menghadirkannya dalam persidangan.

Hal yang menguatkan bahwa Soeharto bukan koruptor adalah asas presumption of innocent alias asas tidak bersalah. Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, "tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap."

Benar, pasal 140 ayat (2) huruf a KUHP menyebut penghentian penuntutan karena perkara ditutup demi hukum tidaklah menghapuskan tindak pidana terdakwa. Tetapi setelah Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, maka seluruh kasus pidananya batal demi hukum sesuai pasal 77 KUHP.

Lalu bagaimana dengan adanya putusan perdata yang mewajibkan Yayasan Supersemar mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 4,4 triliun dan kini sudah inkrah? Ini dua perkara berbeda. Kewajiban untuk mengembalikan kerugian negara dibebankan kepada Yayasan Supersemar, bukan pribadi Soeharto selaku ketua yayasan. Bahkan andai pun dibebankan kepada pribadi Soeharto, hal itu tetap tidak bisa digunakan sebagai pembenar (secara hukum) bahwa Soeharto koruptor.

Kita tidak mengingkari kebobrokan rezim Orde Baru, di mana salah satunya adalah praktek korupsi yang merajalela. Saking gilanya korupsi pada pada masa itu, rakyat akan merasa bersalah jika tidak ikut mendukung. Sebagai contoh kecil, apabila kita mengambil berkas di kecamatan atau meminta tanda tangan pegawai kelurahan untuk urusan tertentu, dan kita tidak memberikan uang tanda tangan maka kita akan merasa bersalah.

Orang-orang sekampung juga menyalahkan kita sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih. Padahal pegawai tersebut sudah digaji atas pekerjaannya. Jadi bisa dibayangkan untuk urusan lain yang lebih besar, terlebih jika di dalamnya ada nilainya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun