Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menunggu Dedi Mulyadi Berjaket PDIP

27 Oktober 2017   09:44 Diperbarui: 27 Oktober 2017   18:33 9477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi.(KOMPAS.com/Reni Susanti)

Setya Novanto selalu punya cara, baik untuk bertahan maupun berkelit sebelum melancarkan serangan mematikan. Manuvernya memang garing sehingga mudah dibaca, tetapi Ketua DPR yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki para politisi otodidak lainnya.

Setya Novanto baru saja melancarkan serangan politik mematikan terhadap Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi. Surat Keputusan DPP Partai Golkar tentang penunjukkan Ridwan Kamil dan Daniel Mutaqien sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar, yang sebelumnya dianggap bodong karena tidak bernomor, kini sudah asli dan sah. Setidaknya jika mengacu pada ungkapan Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid. Dengan demikian SK tersebut sekaligus menganulir keputusan rapat tanggal 1 Agustus 2017 yang menetapkan Dedi Mulyadi sebagai calon gubernur.

Keputusan Setya Novanto sudah bisa diprediksi jauh hari sebelumnya, tepatnya saat Dedi Mulyadi memberikan reaksi "berlebihan" atas bocornya SK penunjukkan Ridwan Kamil. Di saat Novanto tengah bertahan dari serangan KPK yang telah menetapkan dirinya sebagai tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP, bahkan sampai harus "nginap" di rumah sakit, Dedi dicurigai justru memobilisir kader Golkar Jabar untuk menggoyang dirinya. Dedi sempat melontarkan isu permintaan mahar Rp 10 miliar supaya DPP segera menerbitkan SK dukungan.

Ketika akhirnya Setya Novanto terbebas dari status tersangka setelah PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilannya, bayang-bayang batalnya dukungan Golkar mulai tampak. Sejumlah pengurus yang semula tampak mendukung, termasuk Sekjen Golkar Idrus Marham, langsung menjauh. Dedi Mulyadi yang sadar nasib pencalonannya sebagai Gubernur Jabar terancam tamat, pun mulai melirik jalan lain. Salah satunya dengan kehadirannya dalam acara "penjaringan" PDIP yang digelar di Bandung, 25 Oktober kemarin. Ketidakhadiran Netty Heryawan- istri Gubernur Jabar yang juga kader PKS, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, membuat silaturahmi untuk membahas nasib Jabar ke depan, sepenuhnya milik Duo D yakni Dedi Mulayadi dan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar yang sama-sama menjadi "korban" PHP alias pemberi harapan palsu.

Sekedar pengingat, awalnya dukungan kepada Duo D untuk melayari Pilgub Jabar sudah aman. Deddy Mizwar didukung koalisi PKS dan Gerindra, bahkan sudah ditetapkan calon wakilnya yakni Ahmad Syaikhu, sementara Dedi Mulyadi sudah mendapat dukungan partainya plus sokongan dari PDIP. Sementara Ridwan Kamil yang sejak awal sudah mengantongi dukungan Partai Nasdem sempat ketar-ketir karena sejumlah partai yang belum memiliki calon seperti PKB, Demokrat, PAN dan PPP, melakukan banyak manuver. Namun ironinya, saat ini justru Wali Kota Bandung itu yang sudah menambatkan perahu di dermaga dan siap untuk bertarung, sementara Duo D masih kelimpungan mencari tunggangan. Meski demikian nasib Demiz- sapaan Deddy Mizwar masih lebih baik karena PKS mash setia berada di pihaknya sambil menunggu hadirnya partai lain, termasuk balikkan koalisi dengan Gerindra.

Keputusan Golkar mendukung Ridwan Kamil juga menjadi pembenar sikap pragmatis partai-partai politik menyambut gelaran Pilkada serentak 2018. Partai-partai tersebut tidak peduli lagi pada kaderisasi, dan jaminan karir politik kadernya. Dengan alasan elektabiltas- yang tentu masih harus dipertanyakan karena faktanya sandaran yang digunakan untuk mengukur elektabilitas tersebut belum terlalu fix- sekedar tidak mengatakan meragukan, para pengurus partai dengan "mudah" memberikan dukungan kepada tokoh luar, bahkan kader partai lain seperti PDIP yang mendukung kader PKB di Pilgub Jawa Timur 2018. Terhadap sikap ini, adanya aroma mahar gede tercium begitu kuat namun tidak lagi menjadi isu menarik karena sudah (dianggap) kelaziman.

Lalu bagaimana nasib pencalonan Dedi Mulyadi? Penggiat budaya Sunda ini rupanya lupa bahwa dirinya berada di pusaran politik di mana kepatuhan- loyalitas, dan perbuatan baik- semisal berhasil dalam memimpin suatu daerah, belum menjadi jaminan tidak akan ditinggalkan. Dedi overconfident sehingga menutup komunikasi dengan partai lain, kecuali PDIP, padahal belum mengantongi tiket. PKB yang sempat mendekat, akhirnya memilih Ridwan Kamil karena merasa tidak "dianggap". Demikian juga beberapa partai "kecil" lainnya. Dedi seperti merasa sudah cukup dengan dukungan Golkar dan PDIP. Tidak terlihat langkah antisipasi manakala terjadi turbulensi. Dan ketika goncangan internal benar-benar terjadi dan memakan dirinya, Dedi pun kelimpungankarena terancam batal nyagub. Jika masih ingin menyelamatkan pencalonannya merebut kursi Jabar 1, Dedi harus melakukan beberapa langkah strategis.

Pertama, lupakan Golkar. Tidak ada gunanya membuka front terbuka dengan Setya Novanto dan kroninya karena pasti akan kalah. Jangankan Dedi yang levelnya "hanya" bupati, sedangkan Sudirman Said- saat itu Menteri ESDM, yang melaporkan kasus dugaan pencatutan nama Presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia, mental. Demikian juga Ade Komarudin yang harus turun pangkat karena Novanto menginginkan kembali kursi Ketua DPR usai skandal "Papa Minta Saham" berakhir penuh kegembiraan.

Jika Dedi jeli, Novanto masih memiliki "PR" di Kejaksaan Agung terkait kasus tersebut. Secara logika, hanya Istana dan penggede Partai Nasdem -- partainya Jaksa Agung HM Prasetyo, yang bisa "menuntaskan" PR tersebut. Dengan ikut mendukung jagoan Nasdem, nama Novanto yang berkelindan dengan proyek e-KTP, bisa dipastikan tidak lagi menjadi bahan pemberitaan yang seksi di media-media "milik" Nasdem. Sesuatu yang lumrah dalam politik, namun hanya Novanto dan segelintir politisi otodidak lainnya yang menguasai dan bisa menjalankannya secara lugas tanpa malu-malu.

Kedua, konsentrasi ke Lenteng Agung. Dengan terbitnya dukungan Golkar untuk Ridwan Kamil, praktis Dedi Mulyadi tinggal berharap kepada PDIP. Sisa partai yang ada hanya bisa membentuk dua perahu pengusung. Berat bagi Dedi untuk bisa dicalonkan PKS. Bukan karena perbedaan "ideologi" semata, namun PKS masih konsentrasi mencari jalan rujuk dengan Gerindra dan untuk mengusung Demiz-Syaikhu. Sementara tiga partai tersisa yakni Demokrat (12 kursi), PAN (4) dan Hanura (2) tidak cukup untuk membentuk satu perahu pengusung, kurang 2 kursi dari 20 kursi yang diperlukan.

PDIP yang semula loyo karena tidak dilirik tiga kandidat terkuat Jabar tersebut, kini berbalik menjadi gadis seksi nan menawan. Jadi wajar jika kali ini Dedi Mulyadi yang harus mengejarnya, termasuk ketika harus menjadi bagian dari keluarga besar PDIP. Sebab bukan sesuatu yang luar biasa manakala PDIP akhirnya mengusung Demiz karena Presiden Jokowi pernah menawarkan diri membantu mencarikan partai pengusung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun