Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pansus KPK, Pesan Jokowi dan Filosofi Jagoan

15 September 2017   06:43 Diperbarui: 16 September 2017   17:16 6822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo Foto: merdeka.com

Kegeraman atas sikap Presiden Joko Widodo yang terkesan membiarkan  DPR dan para pembantunya mengobrak-abrik dapur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin sering terdengar. Jokowi dituding memperalat Pansus Angket KPK untuk pencitraan. Sebab ujung-ujungnya Jokowi pasti menolak rekomendasi Pansus jika dinilai bisa melemahkan kewenangan KPK. Jokowi menempatkan dirinya sebagai jagoan, lakon, yang datang belakangan membereskan kekacauan.

Mereka yang berpendapat demikian tidak sepenuhnya salah. Terlebih ini bukan kasus pertama di mana Jokowi akhirnya tampil menjadi jagoan. Tentu kita tidak bisa memaksakan kemampuan penalaran seseorang. Jika memang baru sebatas itu, tidak ada gunanya juga menjejalkan seribu argumen karena hasilnya sudah bisa ditebak. Berangkat dari pemahaman itu, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk "menalari" sikap Jokowi tetapi mencoba melihatnya dari sisi berbeda.

Masih ingat perseteruan KPK dengan Polri usai Budi Gunawan (saat itu menjabat sebagai menjabat Kepala lembaga Pendidikan Polri dengan pangkat Komisaris Jenderal) ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus rekening gendut? Satu per satu komisioner KPK di bawah Ketua Abraham Samad menjadi tersangka di kepolisian dan terpaksa mengundurkan diri sesuai ketentuan UU. Presiden terkesan membiarkan perseteruan tersebut, termasuk saat polisi menangkap Bambang Widjojanto dan hampir menjebloskan Abraham Samad ke penjara di tingkat Polres.

Presiden Jokowi baru turun tangan setelah kasus membesar dan kepolisian nyaris "melumpuhkan" KPK. Jokowi mengambil jalan penyelesaian yang "sempurna" di mana Abraham Samad dan Bambang Widjojanto -- yang dianggap sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap penetapan tersangka Budi Gunawan, tidak pernah kembali ke KPK karena status tersangkanya digantung melalui keputusan Jaksa Agung HM Prasetyo yang mengeluarkan seponering- penyampingan perkara demi kepentingan umum. Sementara Budi Gunawan juga urung dilantik menjadi Kapolri dan hanya menjabat sebagai Waka Polri sebelum kemudian diangkat sebagai Kepala BIN dengan pangkat Jenderal Polisi. Jokowi tampil menjadi pahlawan karena berhasil menyelesaikan perselisihan dua lembaga penegak hukum.

Bagi lawannya, Jokowi dinilai memanfaatkan kasus tersebut untuk pencitraan. Sebab, menurut mereka, Jokowi bisa menyelesaikan perseteruan KPK dengan Polri dengan lebih cepat tanpa harus menunggu jatuh korban- dalam hal ini terpentalnya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dari KPK dan batalnya pelantikan Budi Gunawan yang sudah lolos fit and proper test di DPR sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutarman.

Demikian juga dalam kasus KPK versus Pansus Angket DPR untuk menyelidiki kinerja KPK. Sejak awal sebenarnya Presiden Jokowi bisa mencegah kasus ini membesar jika bersikap tegas terhadap para pembantunya untuk tidak memfasilitasi kegiatan Pansus. Tetapi nyatanya, Kepolisian yang semula menolak, akhirnya justru berada di depan, bahkan konon mengizinkan Brigjen Pol Aris Budiman yang diperbantukan ke KPK dan memangku jabatan sebagai Direktur Penyelidikan, menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Pansus Angket KPK. Dari keterangan Aris, Pansus mendapati borok KPK, termasuk peran penyidik senior KPK Novel Baswedan yang dinilai arogan dan merendahkan integritas penyidik polisi.

Terakhir, Jaksa Agung HM Prasetyo tampil lebih garang dalam menyerang KPK. Saat RDP dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung melontakan pernyataan miring terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi andalan KPK dalam memberantas tindak korupsi. Menurut Jaksa Agung, OTT hanya membuat gaduh. Kehadiran KPK dengan aksi OTT-nya tidak mampu mengubah indeks persepsi korupsi. Bahkan Prasetyo meminta agar hak penuntutan KPK dicabut dan diberikan kepada Kejaksaan, minimal meminta izin sebelum melakukan penuntutan terhadap tersangka korupsi. Dengan demikian fungsi KPK hanya sebatas penyelidikan dan penyidikan.

Mustahil Kapolri dan Jaksa Agung bertindak tanpa sepengetahuan Presiden atau membuat kebijakan yang bertentangan dengan keinginan Presiden. Mereka memang disuruh menbuat gaduh sebelum nantinya Presiden tampil sebagai pemadamnya. Kira-kira seperti itulah penilaian lawan Jokowi. Benarkah penilaian mereka?

Bagi mereka yang "mengamati" gaya kepemimpinan Presiden Jokowi secara utuh, pasti memahami mengapa banyak kasus yang sebenarnya bisa dipadamkan lebih cepat tetapi dibiarkan hingga membesar. Apa susahnya bagi Jokowi untuk mencegah pertentangan antar menteri Kabinaet Kerja. Tinggal panggil lalu ultimatum, beres. Tetapi nyatanya, di awal pemerintahan Jokowi-JK banyak menteri yang berseteru dan tidak kompak dalam menjalankan perannya. Dan memang benar Jokowi membiarkan hal itu. Jokowi tidak mau memberikan arahan kepada pembantunya agar bersikap dan bertindak sesuai pakemnya. Tidak pernah. 

Bagi Jokowi, mereka diangkat menjadi menteri karena memiliki ilmu dan kemampuan manajerial. Silakan eksplorasi kemampuan masing-masing. Jika kemudian terjadi benturan, Jokowi pun tidak mau sertamerta menengahi karena meyakini mereka bisa menyelesaikannya sendiri. Ketika ternyata mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri, seperti dalam perseteruan antara  (saat itu) Menteri ESDM Sudirman Said dengan Menko Kemaritiman Rizal Ramli terkait mana cara yang eksplorasi gas di Blok Masela yang paling menguntungkan negara, Presiden Jokowi baru turun tangan.

Jokowi sangat menghargai kinerja pembantunya, apalagi lembaga tinggi negara lainnya yang setingkat dengan Presiden seperti DPR. Jokowi tidak mau langsung melakukan intervensi atau menghalangi kinerjanya. Berulangkali Jokowi mengatakan pembentukan Pansus Angket KPK merupakan ranah DPR sehingga Presiden harus menghormati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun