Karena bisa saja KPI tetap akan melayangkan surat peringatan karena isi konten belum sesuai dengan sudut pandang KPI, sementara dari si penyedia layanan menganggap sudah maksimal karena memikirkan sisi estetika dan user experience lainnya.
Ujungnya bukan tidak mungkin bahwa akan banyak adegan aneh, tanggung dan tak maksimal layaknya kita menonton Hellboy (2019) yang dipotong habis-habisan oleh distributor karena takut kena tegur LSF kala itu. Atau bahkan bakal menyaksikan lebih banyak lagi film kartun yang kena sensor.
Dan film-film laga Indonesia yang menghadirkan kekerasan semisal The Raid dan The Night Comes For Us atau yang memiliki adegan seks semisal Sang Penari atau Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, bukan tidak mungkin akan muncul dengan isi yang sudah kena sensor sedemikian brutal, hanya demi menghindari surat teguran KPI yang bisa berujung pada penutupan layanan.Â
Dan sudah dipastikan, pengalaman menonton di platform streaming tidak akan mengasyikkan lagi.
Penutup
Untuk itu, hendaklah KPI dan berbagai lembaga lain yang beririsan dalam hal penentuan regulasi penyiaran pada layanan streaming berbayar agar tidak terburu-buru dalam menentukan kebijakan pengawasan, pembatasan dan penyensoran tersebut.Â
Pahami akar permasalahannya di mana dan sebisa mungkin mengikutsertakan perwakilan dari para pelaku industri kreatif yang paham betul tentang arah perkembangan industri streaming global pada tiap rapat pengambilan keputusan.
Karena kelak kemajuan industri kreatif bisa terhambat oleh karena keputusan-keputusan bias yang dihasilkan dari sebuah pemikiran satu arah.
Sebuah pemikiran yang sejatinya hanya sekadar asumsi berdasarkan fenomena yang terjadi, namun justru tanpa data survey atau observasi valid yang bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
Semoga KPI membaca tulisan seadanya dari seorang warga biasa ini, yang kebetulan mulai menikmati hidupnya kembali berkat ragam tontonan berkualitas di platform streaming dan yaaa... tanpa sensor.
Salam Kompasiana