Nah, jika platform streaming yang sejatinya digunakan sebagai wadah "pelarian" bagi para pelaku industri kreatif terkait ketidakleluasaan wadah penyiaran konvensional itu "diganggu" juga, lantas kemana lagi kita bisa melihat sajian alternatif tersebut?Â
Bukankah justru hal tersebut juga bakal mematikan kreativitas para pekerja seni yang terpaksa dikekang letupan semangat berkreasinya hanya karena ketakutan karya utuhnya bakal "diganggu"?
Tolonglah KPI, Dengarkan Aspirasi Masyarakat
Saya pribadi sejatinya tidak menolak terkait dilakukannya pengawasan tayangan Netflix oleh KPI. Hanya saja, hasil dari pengawasan yang selama ini muncul justru menjadi semacam trauma karena hasil akhirnya terlalu berlebihan dan mengecewakan.
Karena pada akhirnya poin-poin larangan yang ambigu itu akan bersinggungan juga dengan unsur kebudayaan, yang sayangnya justru mengorbankan sisi budaya itu sendiri.Â
Misalnya bagaimana bagian dada perempuan harus disensor hanya karena menggunakan kebaya yang sedikit menonjolkan bagian penting tersebut.
Padahal pakaian tersebut sejatinya adalah bagian daripada kebudayaan Indonesia yang sudah berlangsung sejak berabad-abad lalu.
Memang tingkat penyensoran sebuah konten tergantung bagaimana nantinya penyedia layanan menanggapi pedoman-pedoman yang telah diberikan oleh KPI. Hanya saja hal tersebut justru akan menjadi buah simalakama bagi si penyedia layanan itu sendiri.
Di satu sisi, si penyedia konten ingin sensor seminimalis dan sehalus mungkin agar pengalaman menikmati konten tetap bisa maksimal.
Namun di satu sisi, biasnya sebuah ketentuan sensor yang dilandasi oleh sudut pandang satu pihak, tentu membuat si penyedia layanan kebingungan mengenai seberapa besar sensor yang harus mereka lakukan terhadap suatu konten.