Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beriring

3 Juli 2020   09:29 Diperbarui: 3 Juli 2020   09:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawan! Pada bulan November 2019. Tepatnya tanggal lima, mamaku tercinta (Cornelia Djami-Loemnanu) dipanggil pulang. Pulang ke haribaan Sang Khalik. Ia kembali dalam usia delapan puluh empat tahun. Tanpa sakit berarti. Dia meninggalkan kami semua setelah beberapa hari terbaring lemah di tempat tidur.

Ia pulang dalam suasana romantisme memilukan. Dia mengucapkan selamat tinggal dalam diam yang mesra. Dia menggenggam erat tangan Papa, Leonard Djami, kekasih hatinya. Kekasih hati yang sudah ditemaninya selama enam puluh Sembilan tahun. Kini mereka berpisah untuk selamanya.

Ah, kawan kau telah memaksaku cengeng. Aku jadi termehek-mehek mewek dengan menceritakannya kembali. Huh...tapi tidak apa. Biar perlahan kurangkai memori itu supaya teman tidak mencapku bohong. Maafkan aku.

Setelah Mama tiada, kubilang pada kakak adikku: "Kita harus siap mental. Karena dalam hitungan hari Papa akan menyusul." Dan mereka tak menampiknya. Itu kukatakan karena Papa dan Mama selalu bersama-sama di setiap waktu.

Tetapi ternyata aku keliru. Papa berangsur kokoh ditemani dan dihibur anak-anak, cucu dan cicitnya. Papa kembali sehat dan bisa bercengkerama dengan orang-orang terkasih di sekelilingnya.

Kami gembira karena Papa dapat beraktivitas normal. Tapi dalam kegembiraan itu justru kakakku tertua berpulang. Ah, kawan. Rasanya belum terhapus air mata karena Mama wafat, kakak pulang. Ia terbujur kaku setelah berjuang berjibaku melawan kanker payudara. Kanker yang diidapnya sejak beberapa tahun silam.

Kakakku, Maritje Astrid Liliya Thao-Djami meninggal pada tanggal 18 Januari 2020. Ia menghembuskan napas terakhir sebelum corona menyerang. Ia menghadap Penciptanya setelah mengarungi lautan hidup selama enam puluh dua tahun.

Papa kelihatan tegar walau kehilangan dua perempuan yang dikasihinya. Istri tercinta dan anak perempuannya. Dalam ketegaran semu ia mengumpulkan kami di sekeliling jenazah Susi Nona. Demikian kami memanggil kakakku ini semasa hidupnya. Ia duduk di sisi peti jenazah bagian kepala lalu memberi wejangan. Wejangan lumayan lama.

Kalimatnya yang tetap terngiang di telingaku adalah: "Tetaplah saling mengasihi satu dengan yang lain." Mungkin lelah, ia ingin beristirahat. Dia berdiri dan mengarahkan dirinya ke kamar lalu melangkah. Hanya satu langkah dia mampu memindahkan kakinya.

Selanjutnya, ia dibopong. Salah satu cucunya yang kebetulan berada di dekatnya secara sigap langsung menggendong. Lalu membawa dan membaringkannya di tempat tidur. Tempat yang biasa dipakai tidur anak perempuannya yang sedang terbujur kaku itu.

Menjelang hari penguburan Kakak, perhatian kami terpecah. Sebagian melakukan persiapan penguburan Susi Nona di Noekele. Lainnya merawat melayani Papa yang membutuhkan perhatian ekstra. Papa terbaring lemah di rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun