Mohon tunggu...
Yolan Permana
Yolan Permana Mohon Tunggu... Mahasiswa Teknik Informatika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Halo! Nama saya Yolan Permana, saya berasal dari Purbalingga. Saya memiliki minat yang besar terhadap tempat wisata dan sejarah, yang mana selalu memberikan inspirasi kepada saya dalam kehidupan sehari-hari. Selamat datang di blog saya, tempat saya berbagi cerita dan pengalaman!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mahasiswa SIap Kerja atau Siap Kaget? Realitas Jurang Akademik dan Industri Perangkat Lunak

19 Maret 2025   21:11 Diperbarui: 19 Maret 2025   21:11 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar. (Sumber Freepik.com)

Mahasiswa Siap Kerja atau Siap Kaget? Realitas Jurang Akademik dan Industri Perangkat Lunak

Sudah lebih dari tiga dekade sejak kesenjangan antara pendidikan rekayasa perangkat lunak dan kebutuhan industri perangkat lunak pertama kali diidentifikasi oleh akademisi pada 1989. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh G. Kishorekumar dan P. Uma dalam artikel "A Survey on Perspectives on the Gap Between the Software Industry and the Software Engineering Education" yang dipublikasikan dalam International Journal of Engineering Technology and Management Sciences (2023), kesenjangan ini tetap membesar dan belum menunjukkan tanda-tanda menyempit. Ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa jurang ini tetap menganga meskipun teknologi, metodologi pendidikan, dan kebutuhan industri terus berkembang?

Artikel ini menjadi salah satu kajian terbaru yang menunjukkan bahwa penyebab kesenjangan ini sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Kishorekumar dan Uma memaparkan bahwa setelah tiga dekade berbagai upaya seperti perbaikan kurikulum, pelatihan tambahan, hingga kemitraan industri-akademik telah dijalankan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Studi mereka, yang melibatkan kuesioner kepada mahasiswa dan lulusan baru, menemukan adanya ketimpangan yang mencolok antara kemampuan lulusan dengan tuntutan pekerjaan di industri perangkat lunak.

Ironisnya, menurut data Bureau of Labor Statistics (2021), permintaan terhadap pengembang perangkat lunak diproyeksikan tumbuh sebesar 22% dari 2020 hingga 2030. Ini adalah pertumbuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan rata-rata profesi lain. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak lulusan baru masih merasa kurang siap menghadapi realitas kerja. Kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan ini tidak hanya menghambat produktivitas awal para lulusan, tetapi juga menjadi beban tambahan bagi perusahaan yang harus mengalokasikan waktu dan sumber daya untuk pelatihan internal yang lebih intensif.

***

Artikel Kishorekumar dan Uma (2023) mengidentifikasi bahwa penyebab utama dari kesenjangan antara pendidikan dan industri perangkat lunak terletak pada kurangnya pengalaman praktis yang didapatkan mahasiswa selama masa studi. Salah satu temuan penting mereka adalah bahwa lulusan baru kesulitan saat bertransisi ke proyek-proyek besar di industri karena kurikulum yang mereka jalani terlalu berfokus pada teori dan kurang menekankan pada kerja kolaboratif, penggunaan alat industri, serta pengembangan perangkat lunak berskala besar dan berumur panjang.

Dalam studi ini, 62% responden mahasiswa dan lulusan baru menyatakan bahwa keterampilan komunikasi dan kolaborasi tim adalah aspek yang paling menantang ketika memasuki dunia kerja. Selain itu, 58% dari mereka mengaku tidak familiar dengan perangkat dan metodologi yang banyak digunakan di industri, seperti sistem manajemen proyek, DevOps, atau kerangka kerja Agile. Angka-angka ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa dunia akademik cenderung mengedepankan pembelajaran individual dan penilaian berbasis ujian, sementara dunia industri justru menuntut kerja tim lintas disiplin dan ketangkasan beradaptasi dengan berbagai alat serta metodologi kerja yang dinamis.

Lebih jauh lagi, temuan Kishorekumar dan Uma selaras dengan penelitian Begel dan Simon (2008) yang mengamati bahwa lulusan baru di Microsoft membutuhkan rata-rata 3 hingga 6 bulan hanya untuk memahami proses kerja, standar kode, dan komunikasi proyek yang kompleks di perusahaan teknologi besar. Begel juga menggarisbawahi bahwa masalah komunikasi dan orientasi adalah hambatan paling signifikan bagi lulusan baru saat mulai bekerja.

Kontribusi Kishorekumar dan Uma semakin menegaskan pentingnya peran universitas untuk membangun jembatan yang lebih kuat dengan industri. Salah satu solusi yang mereka tawarkan adalah memperbanyak pengalaman langsung bagi mahasiswa melalui proyek nyata bersama industri, bukan sekadar studi kasus atau proyek akademik yang cenderung sederhana dan terbatas.

Sayangnya, pendekatan ini masih jarang diterapkan secara konsisten di perguruan tinggi. Data dari ABET (2020) menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% program teknik di tingkat sarjana yang memiliki kemitraan formal dan aktif dengan perusahaan untuk pengembangan kurikulum dan program magang terstruktur. Padahal, dari perspektif industri, keterlibatan langsung dalam pembelajaran akan mempercepat proses adaptasi lulusan baru dan mengurangi beban pelatihan tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun