Mohon tunggu...
Yohanes Eki
Yohanes Eki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Statistisi di Badan Pusat Statistik

Penulis angin-anginan

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Pertanian 4.0 dan Kesiapan Pertanian di Indonesia

2 April 2020   13:38 Diperbarui: 2 April 2020   13:35 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : berdikaronline.com

Beberapa hari setelah dilantik menjadi Menteri Pertanian yang baru, Syahrul Yasin Limpo langsung bergerak cepat membenahi masalah-masalah yang ada di sektor pertanian di Indonesia. Adapun empat perbaikan wajib yang menjadi fokusnya antara lain perbaikan data pertanian, peningkatan daya saing ekspor, hilirisasi industri produk hasil pertanian, dan perbaikan kebijakan impor. Menurut Syahrul, pertanian merupakan sektor penting yang dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Dia berharap sektor ini tidak hanya digunakan sebagai tempat mencari makan, namun melalui sektor ini, muncul orang kaya baru di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan menggalakan era Pertanian 4.0.

Pertanian 4.0 merupakan sesuatu yang relatif masih baru, karena baru dicetuskan pada tahun 2018 di acara World Government Summit. Pertanian 4.0 merupakan spesialisasi Revolusi 4.0 di bidang pertanian yang memanfaatkan konektivitas dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian. Beberapa teknologi-teknologi baru yang digunakan antara lain penggunaan gadget, drone, Big Data, dan Internet of Things (IoT). Ada tiga hal besar yang menjadi ruang lingkup pertanian :

1. On-Farming

Pemanfaatan teknologi on-farming adalah pemanfaatan teknologi di lapangan atau yang biasa disebut dengan precision farming. Pemanfaatannya dimulai dari menghasilkan benih unggul berbasis bioinformatics, pengendalian hama terpadu secara cerdas dengan kecerdasan buatan, pemupukan presisi, penggunaan smart tractor dan penyemaian benih dengan robot.

2. Off-Farming
Pemanfaatan teknologi off-farming adalah pemanfaatan teknologi di luar lapangan. Contohnya adalah pemanfaatan teknologi Blockchain yang digunakan untuk menjamin transparansi dan rekam jejak aliran produk pertanian dari hulu hingga hilir sehingga dapat saling mengontrol satu dengan yang lain. Harapan ke depannya, transparansi informasi akan lebih terbuka untuk setiap stakeholder.


3. Pemasaran Digital

Tidak hanya on-farming dan off-farming saja, namun pemasaran digital juga dicakup ke dalam Pertanian 4.0. Sekarang ini, konsumen sudah mulai melek digital. Konsumen juga sudah memulai membiasakan diri untuk membeli produk pertanian secara online hanya lewat smartphone saja. Tidak hanya membeli produk pertanian melalui smartphone, tetapi melihat asal usul produk juga.

Pertanian 4.0 menawarkan berbagai keuntungan jika bisa diaplikasikan karena potensi sektor pertanian di Indonesia masih cukup tinggi. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan setidaknya memperlihatkan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan selalu masuk dalam lima besar sektor dengan distribusi terbesar selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2018, distribusinya ada di peringkat keempat sebesar 12,81 persen. Jumlah tenaga kerja di sektor ini juga tercatat sangat besar, berada di peringkat kedua di bawah sektor industri manufaktur dengan jumlah mencapai 8,5 juta pekerja. Melihat potensi yang dimiliki, sudah seharusnya Indonesia mengadopsi Pertanian 4.0 sebagai cara memajukan sektor pertanian kita.

Cita-cita tersebut sepertinya tidak bisa dengan mudah diwujudkan. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi jika ingin benar-benar menerapkan Pertanian 4.0. Adapun tantangan-tantangan tersebut antara lain :

1. Sumber Daya Manusia di Bidang Pertanian
Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus 2018 (SUTAS2018) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), petani di Indonesia mayoritas berada pada kelompok umur 45 tahun ke atas dengan persentase mencapai lebih dari 85 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi regenerasi petani tidak berjalan baik. Fakta tersebut juga menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia bisa saja kekurangan petani dalam waktu 20 tahun ke depan karena mayoritas petani sudah cukup tua untuk bekerja.
Tingkat pendidikan juga memegang peranan penting dalam suksesnya adopsi Pertanian 4.0, karena modernisasi teknologi akan lebih mudah diterima oleh petani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Petani dengan tingkat pendidikan yang rendah kemungkinan akan kesulitan dalam mengadopsi teknologi Pertanian 4.0 karena kurangnya pengetahuan terhadap teknologi terkini. Sebagian besar petani di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, yakni 66 persen adalah petani dengan tingkat pendidikan terakhir SD ke bawah, sedangkan hanya tiga persen yang memiliki tingkat pendidikan D1 sampai dengan S3. Fakta tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian masih belum memiliki banyak petani yang memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini dapat menyulitkan pemerintah dalam menyosialisasikan Pertanian 4.0 di Indonesia.

2. Kondisi Lahan Pertanian di Indonesia

Gencarnya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan yang lain sangat merugikan petani. Dengan semakin sempitnya lahan pertanian, maka ruang gerak bagi para petani menjadi semakin kecil. Lahan pertanian yang mengecil berpotensi menurunkan produksi pertanian. Hasil penghitungan luas lahan baku sawah nasional tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 7,4 juta hektar lahan baku sawah nasional, di mana jumlah tersebut meningkat lima persen dibandingkan dengan tahun 2018. Namun jika melihat jauh ke belakang sebenarnya luas lahan baku sawah nasional menurun. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian Tahun 2013, luas lahan sawah adalah sebesar 7,7 juta hektar.
Mayoritas rumah tangga petani di Indonesia adalah rumah tangga petani gurem. Jumlahnya mencapai 58 persen atau kurang lebih 15 juta rumah tangga petani dari sekitar 27 juta rumah tangga petani keseluruhan. Petani gurem adalah petani yang mengusahakan lahan pertanian di bawah setengah hektar. Lahan yang sempit membuat pendapatan petani menjadi tidak maksimal, karena biaya operasional yang besar berbanding dengan produksi yang kecil.  

3. Infrastruktur

Salah satu garis besar Pertanian 4.0 adalah konektivitas antara alat pertanian dan petaninya, konsekuensinya adalah mutlak dibutuhkannya akses internet yang cepat dan memadai sehingga konektivitas tersebut tidak terganggu. Seringkali akses internet di sawah atau lahan pertanian yang lain masih belum cukup baik karena sedikitnya menara telekomunikasi yang tersedia. Namun sejauh ini, pemerintah telah mengupayakan peningkatan coverage area untuk internet dengan membangun jaringan serat optik Palapa Ring yang menjangkau semua provinsi di Indonesia. Efeknya tidak bisa serta merta dirasakan saat ini, namun untuk dua atau tiga tahun ke depan. Beberapa penyedia layanan telekomunikasi juga sudah mulai memperluas jangkauan layanannya dengan menjangkau kawasan pedesaan dan kawasan terpencil.

Modernisasi teknologi merupakan sebuah keniscayaan, sehingga mau tidak mau kita harus bisa menggunakan dan memanfaatkannya. Negara-negara lain sudah mulai bergerak dan jika kita tidak ingin ketinggalan tentu tantangan-tantangan di atas harus bisa diatasi oleh pemerintah. Edukasi untuk para pemuda bahwa profesi petani juga bisa menghasilkan pendapatan yang tinggi menjadi salah satu cara untuk mempertahankan regenerasi petani. Berkurangnya lahan pertanian di Indonesia dapat dilakukan dengan menerapkan lahan pertanian abadi. Pembangunan infrastruktur yang menunjang Pertanian 4.0 juga harus terus dilakukan agar semakin banyak ekosistem yang mendukung tersedia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun