âDua Garis Biruâ Bukan Sekadar Film Remaja, Tapi Alarm Sosial
Film Indonesia tak hanya bisa membuat kita tertawa atau menangis, tapi juga berpikir. Salah satu karya yang membuktikan kekuatan itu adalah Dua Garis Biru (2019) karya Gina S. Noer. Di tengah maraknya konten hiburan yang kerap menghindari topik sensitif, film ini justru mengambil langkah berani dengan menyoroti isu kehamilan remaja, pendidikan seksual, dan dinamika keluarga Indonesia secara jujur dan emosional.
Lewat kisah Dara dan Bimaâdua remaja SMA yang terjerat realitas pahit akibat keputusan impulsifâpenonton diajak menyaksikan bukan hanya romansa remaja, tapi juga beban tanggung jawab, tekanan sosial, dan pertarungan batin antara naluri dan norma.
Film sebagai Cermin Moral dan Edukasi
Sebagai mahasiswa yang meneliti Dua Garis Biru dari sudut pandang psikoanalisis, kami menemukan bahwa film ini tak hanya menyentuh emosi, tapi juga menyentuh akal sehat. Dalam teori Sigmund Freud, perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga elemen: id (dorongan naluriah), ego (penengah realitas), dan superego (suara hati/norma sosial).
Dara dan Bima digambarkan sangat manusiawiâterombang-ambing antara hasrat remaja (id), realitas kehamilan dan masa depan (ego), serta tekanan dari keluarga dan masyarakat (superego). Konflik psikologis ini terasa nyata dan relevan, terutama di tengah masyarakat kita yang masih canggung membicarakan seksualitas secara terbuka.
Mengapa Film Ini Layak Jadi Bahan Diskusi Keluarga dan Sekolah
Apa yang membuat film ini berbeda adalah keberaniannya membuka percakapanâbukan menghakimi. Bukan hanya remaja, orang tua juga diajak merenung: sudahkah kita menyediakan ruang aman bagi anak untuk bertanya, bercerita, bahkan berbuat salah?
Bagi dunia pendidikan, Dua Garis Biru bisa menjadi media refleksi dan pembelajaran. Ia menjembatani jarak antara teori pendidikan karakter dan realita kehidupan sehari-hari. Bukankah seni memang seharusnya menjadi alat yang mendidik, bukan sekadar menghibur?
Dr. Zoya Amirin, seorang psikolog klinis dan pakar seksologi, pernah menyampaikan dalam wawancaranya:
âEdukasi seksual bukan hanya soal organ tubuh, tapi juga soal nilai, tanggung jawab, dan bagaimana seseorang menghargai dirinya sendiri dan orang lain.â
(Sumber: Kompas.com, 2019)