Mohon tunggu...
Yohana Butu
Yohana Butu Mohon Tunggu... Universitas Jember

Mahasiswa Universitas Jember Program Studi Televisi dan Film

Selanjutnya

Tutup

Film

Ketika Dua Garis Biru Menjadi Cermin Moralitas: Pelajaran Seksualitas dan Tanggung Jawab dari Layar Lebar

25 Juni 2025   10:33 Diperbarui: 25 Juni 2025   10:50 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
fatiyyah.blogspot.com

“Dua Garis Biru” Bukan Sekadar Film Remaja, Tapi Alarm Sosial

Film Indonesia tak hanya bisa membuat kita tertawa atau menangis, tapi juga berpikir. Salah satu karya yang membuktikan kekuatan itu adalah Dua Garis Biru (2019) karya Gina S. Noer. Di tengah maraknya konten hiburan yang kerap menghindari topik sensitif, film ini justru mengambil langkah berani dengan menyoroti isu kehamilan remaja, pendidikan seksual, dan dinamika keluarga Indonesia secara jujur dan emosional.

Lewat kisah Dara dan Bima—dua remaja SMA yang terjerat realitas pahit akibat keputusan impulsif—penonton diajak menyaksikan bukan hanya romansa remaja, tapi juga beban tanggung jawab, tekanan sosial, dan pertarungan batin antara naluri dan norma.

Film sebagai Cermin Moral dan Edukasi

Sebagai mahasiswa yang meneliti Dua Garis Biru dari sudut pandang psikoanalisis, kami menemukan bahwa film ini tak hanya menyentuh emosi, tapi juga menyentuh akal sehat. Dalam teori Sigmund Freud, perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga elemen: id (dorongan naluriah), ego (penengah realitas), dan superego (suara hati/norma sosial).

Dara dan Bima digambarkan sangat manusiawi—terombang-ambing antara hasrat remaja (id), realitas kehamilan dan masa depan (ego), serta tekanan dari keluarga dan masyarakat (superego). Konflik psikologis ini terasa nyata dan relevan, terutama di tengah masyarakat kita yang masih canggung membicarakan seksualitas secara terbuka.

Mengapa Film Ini Layak Jadi Bahan Diskusi Keluarga dan Sekolah

Apa yang membuat film ini berbeda adalah keberaniannya membuka percakapan—bukan menghakimi. Bukan hanya remaja, orang tua juga diajak merenung: sudahkah kita menyediakan ruang aman bagi anak untuk bertanya, bercerita, bahkan berbuat salah?

Bagi dunia pendidikan, Dua Garis Biru bisa menjadi media refleksi dan pembelajaran. Ia menjembatani jarak antara teori pendidikan karakter dan realita kehidupan sehari-hari. Bukankah seni memang seharusnya menjadi alat yang mendidik, bukan sekadar menghibur?

Dr. Zoya Amirin, seorang psikolog klinis dan pakar seksologi, pernah menyampaikan dalam wawancaranya:

“Edukasi seksual bukan hanya soal organ tubuh, tapi juga soal nilai, tanggung jawab, dan bagaimana seseorang menghargai dirinya sendiri dan orang lain.”
(Sumber: Kompas.com, 2019)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun