Mohon tunggu...
Yohana Hartriningtyas
Yohana Hartriningtyas Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan

Seorang ibu rumah tangga dengan seorang anak lelaki, pernah berprofesi sebagai guru dan pernah menjadi buruh pabrik

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kehidupan Kota Sorong

27 Maret 2021   10:38 Diperbarui: 27 Maret 2021   10:52 2169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pernah suatu ketika saya mendapat kesempatan untuk tinggal dan menikmati udara di pulau Cendrawasih, tepatnya di kota Sorong. Tahun 2013 tepatnya. Sekedar pembaca tahu saat berangkat saya tidak punya siapa-siapa untuk menjemput di bandara, tidak punya pengalaman traveling sendirian dan buta dengan keadaan orang "Papua".

Pemikiran saya tentang kondisi Papua adalah primitif. Ya, tentu saja itu terjadi karena saya hanya mengkonsumsi berita di TV, cerita dari orang yang sok tahu tentang keadaan disana yang sialnya saya dengarkan. Sebelum berangkat saya mencoba mencari tahu informasi tentang Sorong dimana saya akan ditempatkan. Dari beberapa orang tak dikenal yang saya hubungi via DM intinya adalah di Sorong itu enak, orangnya ramah dengan kultur menghormati yang kental. Bahkan dari mereka menawarkan saya untuk menjemput dibandara bahkan tempat tinggal. Sebagai perempuan yang akan merantau sendirian tentu saja saya tidak mau, waspada tepatnya.

Sampai di Domine Eduard Osok Airport kota Sorong saya sedikit gugup. Bandaranya kecil (sebelum di rehap), seperti tanah lapang yang diaspal dengan bangunan kecil untuk cek in, pengambilan bagasi dan kegiatan bandara pada umumnya. Lantainya masih tegel dengan bercak-bercak merah pucat diatasnya yang baru kutahu beberapa hari setelahnya adalah ludah bekas nyirih (nginang dalam bahasa jawa).

Diluar dugaan saya, sambutan hangat dari teman yang menawarkan tempat tinggal tersebut sangat ramah. Saya pikir mungkin karena kami sama-sama orang jawa di perantauan makanya baik dengan saya. Bukankah sudah jadi rahasia umum bertemu dengan suku yang sama di suatu daerah serasa bertemu dengan saudara sendiri? Dari mereka pesan pertama memulai hidup merantau disana adalah;

  1. Makan tepat waktu, istirahat jika lelah walaupun pekerjaanmu sangat penting karena Malaria menyerang saat badan tidak fit. Seakan menepis pengetahuan saya bahwa Malaria itu karena di gigit nyamuk saja adalah salah. 
  2. Hati-hati saat berkendara, banyak hewan berkeliaran jika menabrak akan ganti uang susu.
  3. Jika ingin menolong orang lihat dulu kondisinya,

Terlepas dari hal diatas akan saya ulas pengalaman dari sudut pandang saya;

Kota kecil itu memang tidak seramai kota Salatiga, Kediri, apalagi Solo. Mungkin seramai kota kecamatan pinggiran di Madiun atau Wonogiri saja. Yang saya ingat memang ada Mall dan supermarket namun jangan bayangkan seperti Mallnya sebesar di Jawa yang bertingkat-tingkat. Kelengkapannya bisa dikatakan lumayan termasuk harganya yang lumayan. Pasar tradisional terbesar di kota itu bernama pasar Remu. Jualanya sama aja dengan pasar tradisional pada umumnya dai mulai sayur mayur, emas, ikan, bumbu, baju. Harga? Jangan bandingkan dengan Jawa ataupun Sulawesi, namun bila disebut Mahal tidak juga mengingat para pedagang mendatangkan barang dagangan mereka dari Jawa, Kalimantan atau Makassar yang otomatis membutuhkan biaya pengiriman yang tidak murah.

Daya beli masyarakat pun bisa dikatakan mampu, seimbang dengan harga bahan pokok disana yang lebih mahal untuk ukuran jawa. UMK tahun 2021 saja sekitar Rp 3.314.600 (Papua Barat) bandingakan dengan Yogyakarta yang Rp 1.765.000. Bisa dibilang mencari uang disana llebih banyak peluang, tinggal rajinnya perantau saja. Sepintas disana sektor pedagangan bahan pokok lebih banyak orang bugis, pertanian dikuasai orang jawa, dan perkantoran baik swasta dan pemerintahan orang Batak dengan aturan wajib pemimpinnya tetap orang suku asli yaitu Papua. 

Saat akan berangkat ke Papua beberapa orang mencoba menyiutkan  nyali saya dengan mengatakan bahwa orang kulit hitam itu kasar, susah tersenyum dan bodoh. Awalnya saya termakan dengan omongan itu tetapi kenyataanya bertolak belakang bahkan membuat saya sempat ingin menetap disana karena keramahannya. Orang kulit hitam disana terus terang saja memang perlu penjelasan lebih detail dalam penyampaian mater, tetapi daya ingat mereka saya akui lebih menonjol dari yang lainnya. Mereka lebih gampang menghafal lagu berbahasa Inggris dari pada bahasa indonesia. Tentu saja karena selera musik disana lebih cenderung kebarat-baratan. Saya pribadi menduga hal itu berhubungan dengan sejarah tanah papua yang pernah diduduki oleh Inggris dan negara barat lainnya hingga meninggalkan jejak budaya sampai sekarang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun