Mohon tunggu...
Yoga Utami
Yoga Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

menyemai ilmu di ladang kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjenguk Disabilitas

20 Januari 2018   06:07 Diperbarui: 20 Januari 2018   13:59 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari lalu saya menuliskan pengalaman terbaru saya tentang tanda parkir spesial. Pesan yang tersirat yang ingin saya ungkapkan barangkali memang seputar kondisi saya. Saya berada jauh dari tanah air dan lama tak terlihat juga terdengar dari kerabat dan sahabat. 

Sebelumnya saya ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak Kompasiana yang menambahkan potret melengkapi tulisan saya tentang tanda parkir penyandang disabilitas. Sebenarnya saya juga ingin membagikan potret tanda parkir kami. Sebagai bukti, bukan hoax atau membual atau sekadar excuse. Sayangnya, potret di ponsel saya ternyata ukurannya melebihi kapasitas aturan di Kompasiana. Meski saya berulang mencoba,saya kurang pengalaman mengatur atau memperkecil kapasitas potret di ponsel. Jadi, ya sudahlah. 

Potret yang diberikan oleh pihak Kompasiana memperlihatkan seseorang yang sedang duduk di kursi roda. Potret diambil tampak belakang dan dibuat sedikit kabur. Barangkali ini adalah potret yang biasanya terwujud dalam benak imajinasi kita bila terbaca kata 'disabilitas' atau tuna atau cacat, terutama fisik. 

Saya bukan pakar yang bisa menerangkan definisi dan jenis-jenis disabilitas secara komprehensif dan meyakinkan, saat ini. Saya hanya ingin berbagi tentang seputar saya yang saya alami dan rasakan.

Kondisi fisik saya menjadi terbatas dan saya memang terdiagnosa penyakit bernama multiple sclerosis. Hasil pemeriksaan dokter melalui pelacakan rekam medis, tes MRI juga sampel darah saya yang dikirim ke laboratorium di negara Denmark menguatkan diagnosa akhir tahun 2016 lalu. Dokter ahli syaraf sore itu memperlihatkan apa yang terjadi dari hasil MRI. Ada sejumlah tanda luka di bagian otak dan syaraf di bagian leher, pundak dan punggung saya. Istilah yang dipakai untuk kondisi ini adalah lesi atau lesion. Untuk melihat titik-titik ini cukup rumit. 

Suatu kali saya pernah mengunjungi kegiatan bertema "Hari Otak" yang diadakan kampus saya, The University of Auckland, bekerja sama dengan pihak RS dan sejumlah lembaga. Saya penasaran dengan sejumlah pajangan sampel otak manusia yang mengalami kerusakan atau penyakit. Pertanyaan pertama saya adalah apakah yang terpajang itu adalah otak-otak asli manusia? Dan dibenarkan oleh mahasiswa kedokteran yang menjaga meja pajangan tersebut. Mahasiswa tersebut sempat memperkenalkan diri dan menyebutkan bahwa dia juga terlibat sebagai asisten peneliti di lab yang terkait kondisi otak dan syaraf. Otak-otak yang dipajang merupakan donasi dari mereka yang mengalami penyakit terkait. Di sini memang tersedia bank otak. Barangsiapa yang berkeinginan menyumbangkan otak miliknya setelah tiada, dapat mendaftarkan diri dan pihak bank otak yang bekerja sama dengan universitas dan RS siap untuk menindaklanjuti jika sang donatur berpulang ke rahmatullah.  

Pertanyaan kedua adalah mengapa saya tidak temukan sampel otak dengan penyakit saya, multiple sclerosis(MS)? Dan sang mahasiswa tampak spontan diam dan menarik nafas sebelum berikan jawaban. Dia lalu menerangkan MS itu memang pelik. Sakitnya tak terlihat juga apa yang terjadi pada syaraf dan otak sulit untuk ditangkap mata biasa. Saya disarankan ke meja yang menyediakan mikroskop. Ada mahasiswa lain yang siap menerangkan perihal syaraf sambil saya mencoba lihat sampel susunan syaraf lewat mikroskop. Pelik memang. Dan saya bukan mahasiwa kedokteran. Apalagi saya sendiri bermasalah dengan MS. 

Bagi saya, sederhananya, sebuah titik baru menghayati perjalanan kehidupan. Hidup harus dilanjutkan dan tetap hidup meski dengan kondisi fisik yang tidak sama lagi. 

Sejumlah lesi itulah yang membuat saya menjadi sulit berjalan normal karena lutut kaki yang terasa melemah, sulit untuk tenang berkonsentrasi menguraikan perhatian menuntaskan persoalan meski kecil seperti memasang popok anak saya sehingga memakan waktu lama ditambah rasa kesemutan atau kebas di tangan yang tak kunjung hilang. Saya juga gampang merasakan keletihan datang dan pergi sesukanya yang juga tidak kunjung hilang. Saya hanya bisa memaknai kata istirahat dengan kata verba yang saya perintahkan kepada diri sendiri, yakni cukup dengan satu kata "berhenti". Sederhana saja. 

Setelah berhenti beberapa waktu, bisa dilanjutkan jika memang tugas itu harus dituntaskan. Hidup saya penuh jeda, di jalur lambat. 

Inilah kenapa saya terkategorikan sebagai penyandang disabilitas di tempat saya tinggal saat ini, di Auckland Selandia Baru. Keterangan dari dokter di rumah sakit dan klinik menguatkan kondisi ini yang otomatis membantu saya untuk tetap menjalankan kehidupan dan berjalan dalam arti yang sesungguhnya. Dokter menasihati agar saya tetap bergerak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun