Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seni Mendengarkan

24 Mei 2018   11:30 Diperbarui: 24 Mei 2018   11:33 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Majalah BASIS edisi 01-02 tahun 2018, Dr. A. Bagus Laksana menulis tentang fenomena boneka seks di Jepang. Masayuki Ozaki (45 tahun), meski telah memiliki istri, ia memiliki boneka seks yang tak murah, yakni sekitar Rp 70 juta. 

Bagi Ozaki, boneka yang ia beri nama Mayu itu lebih mengerti perasaannya dibanding istrinya sendiri, salah satunya karena Mayu bisa mendengarkan segala keluh kesah Ozaki tanpa membalasnya dengan omelan.

Selain itu ada pula bisnis persewaan orang, salah satunya adalah Japan's Ossan Rental yang menawarkan lebih dari 70 pria paruh baya. Tsutomu Ikeda, salah satu penyedia jasa tersebut  diganjar 1.000 yen atau sekitar Rp 120.000 setiap jamnya.

 Pria 46 tahun itu dibayar untuk menemani kliennya berkaraoke, nonton baseball, atau sekedar makan bersama. Pekerjaan yang ia lakoni selama dua tahun itu diakuinya bukan untuk mencari uang semata, melainkan menyediakan diri sebagai teman. 

Lebih dari 30 klien ia temani dalam sebulan, 20 jam seminggu ia habiskan untuk mereka. Dan Ikeda mengambil kesimpulan, banyak dari kliennya yang datang hanya untuk didengarkan ceritanya.

Kemudian muncullah orang yang menawarkan jasa yang lebih spesifik seperti Takanobu Nishimoto, dengan bayaran dan jumlah klien seperti Ikeda, Nishimoto menemui satu per satu kliennya untuk mendengarkan segala macam cerita. 

Nodoka Hyodo, melalui kanal Youtube AFP news agency menceritakan alasannya memakai jasa "pendengar" karena merasa kurang nyaman bercerita pada orang-orang terdekat. Pada orang sewaan yang tak ia kenal itu, Hyodo bisa bercerita apapun dan menerima saran tanpa menyudutkannya.

William A. Barry SJ, rohaniawan Amerika, menuliskan dalam bukunya berjudul Praying The Truth (2012). Ketika orang lain mulai berbicara, kita mulai berpikir bagaimana menanggapinya. 

Bagi banyak orang di antara kita, percakapan lebih dimaksudkan untuk menjaga agar pembicaraan tidak terhenti, bukan sungguh-sungguh menaruh perhatian pada pikiran dan hati orang yang sedang berbicara. Akibatnya, kita tidak mendengarkannya dengan baik.

Dalam banyak percakapan, sering kali seseorang menceritakan suatu yang menyedihkan, sehingga dalam batin, kita menolak untuk mendengarkannya, akibatnya meski nampaknya kita mendengarkannya dengan sungguh-sungguh, kita melewatkan perasaan emosional yang semestinya menjadi petunjuk dari cerita itu.

Persoalan baru juga dapat muncul dari sebuah percakapan, sebab sebagai manusia yang memiliki rasa empati tentu dapat terhanyut dalam persoalan orang lain, turut terlarut dalam kesedihan pencerita justru membuat kita sebagai pendengar menjadi tidak netral. Apalagi jika sampai persoalan orang lain menjadi persoalanku, membuatku turut memikirkan solusinya hingga mengganggu waktu tidur. Oleh sebab itu seperti yang disampaikan Yohanes Nugroho SJ, pendamping Magis (Komunitas bagi orang muda yang mendalami Ignasian), bahwa jangan sampai persoalan orang lain menjadi persoalan kita. Tugas kita cukuplah mendengarkannya dengan hati terbuka lebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun