Mohon tunggu...
Yeni Mafiah
Yeni Mafiah Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Mahasiswa Doktor Studi Islam UAD Yogyakarta

Learning addict. Curiosity is my compass. Seperti akar yang merambat dalam tanah, aku berkembang di antara tumpukan buku, jurnal, dan webinar. Masih work in progress, tapi selalu excited untuk upgrade versi diri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Al Qur'an Bisa Dibaca dengan Kacamata Postmodern? Kontroversi Interpretasi Islam Kontemporer

18 Mei 2025   05:15 Diperbarui: 17 Mei 2025   22:51 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Al Qur'an (Sumber: https://pixabay.com/)

Pada era modernisasi seperti sekarang ini, tantangan untuk menafsirkan ulang kitab suci umat Islam, yakni Al Qur'an, melalui sudut pandang yang baru masih terus berlanjut. Sedangkan metode penafsiran kitab suci dengan menggunakan kacamata postmodernisme tidak jarang justru memunculkan perdebatan baru. Pertanyaannya, apakah pendekatan postmodernisme ini membahayakan legitimasi ajaran Islam, atau apakah pendekatan tersebut sudah tepat secara teologis?  Mari kita bahas persoalan ini.

Postmodernisme merupakan salah satu aliran pemikiran yang tidak mengakui adanya grand narratives atau tafsir-tafsir utama, tetapi lebih mengedepankan aspek relativitas kebenaran, serta mewaspadai pernyataan-pernyataan tentang kebenaran yang bersifat absolut. Sementara itu, jika merujuk pada studi agama, postmodernisme menawarkan suatu pendekatan yang lebih kritis dalam memahami teks, dengan mempertimbangkan struktur kekuatan yang ada di balik penafsiran, dan mengenali adanya pengaruh lingkungan sosial-politik dalam pembentukan sebuah penafsiran.

Pendekatan ini menarik bagi beberapa pemikir Muslim kontemporer karena dianggap mampu menjawab isu-isu masa kini. Sebagai contoh, cendekiawan Aljazair-Prancis Mohammed Arkoun (1928-2010) menyoroti pentingnya "mendekonstruksi" tafsir tradisional untuk membebaskan Al-Qur'an dari interpretasi dogmatis, dengan menyatakan bahwa kitab suci tersebut harus dilihat sebagai "fenomena historis" yang berhubungan dengan realitas manusia (Arkoun, Rethinking Islam, 1994). 

Implementasi metode-metode postmodern dalam studi Al-Qur'an sering kali bersinggungan dengan prinsip-prinsip dalam tafsir klasik yang bersandar pada otoritas para ulama, tata bahasa Arab, dan latar belakang turunnya wahyu (asbabun nuzul). Salah satu contoh yang cukup kontroversial adalah pendapat profesor Mesir Nasr Abu Zayd (1943-2010) yang menyatakan bahwa Al-Qur'an harus dipahami sebagai "teks linguistik" yang bersifat fleksibel, bukan sebagai wahyu yang sifatnya kaku. Pernyataan tersebut menyebabkan ia kemudian mendapat tuduhan murtad dari pengadilan Mesir pada tahun 1995.

Berbeda dengan Nasr Abu Zayd, cendekiawan seperti Hasan Hanafi (1935-2021) berusaha mengadopsi postmodernisme sambil mempertahankan esensi Islam.  Hanafi menganjurkan "revolusi hermeneutis" dalam bukunya yang terbit pada 2013, berjudul Religion, Ideology, and Development, yang menyatukan analisis teks dan kesadaran sosial untuk menghasilkan interpretasi yang bersifat memberikan kebebasan.

Sementara itu, kaum tradisionalis mengecam keras pendekatan postmodernisme.  Menurut filsuf Islam terkemuka Seyyed Hossein Nasr, Al-Qur'an adalah "Kalamullah" yang transenden, sehingga penafsiran manusia harus mengikuti kerangka metafisika Islam (Nasr, The Study Quran, 2015).  Para penentang lainnya memperhatikan bahaya relativisme: apakah pesan universal Al-Qur'an akan hilang jika maknanya dapat diubah sesuka hati?

Para pendukung pendekatan penafsiran postmodern berpendapat bahwa metode ini dapat meningkatkan studi Islam.  Dekonstruksi, misalnya, digunakan oleh feminis Muslim seperti Amina Wadud untuk menggugat pemaknaan patriarkis atas puisi yang berkaitan dengan gender.  Ia menunjukkan bagaimana latar belakang budaya Arab abad ketujuh mempengaruhi bagaimana teks-teks suci dipahami dalam Qur'an and Woman (1992).

Interpretasi Al-Qur'an tentang kisah Nabi Adam (QS. Al-Baqarah: 30-39) adalah salah satu contoh penerapan postmodern.  Menurut kepercayaan tradisional, Adam adalah orang pertama yang "diturunkan" ke bumi akibat dosa.  Penafsiran postmodern, di sisi lain, memandang kisah ini sebagai metafora tanggung jawab manusia sebagai seorang khalifah, bukan sebagai kisah historis-harfiah.  Metode ini menciptakan sebuah forum untuk diskusi tentang teori evolusi dengan para ilmuwan kontemporer.

Pada akhirnya tidak ada satu jawaban yang benar untuk pertanyaan, "Apakah Al Qur'an Bisa Dibaca dengan Kacamata Postmodern?" Di satu sisi, pendekatan ini menawarkan perspektif baru yang relevan dengan masalah keadilan sosial, pluralisme, dan hak asasi manusia; di sisi lain, pendekatan ini berisiko mengaburkan perbedaan antara penafsiran yang sah dan yang menyimpang.

Jelaslah bahwa dinamika pemikiran Islam modern, sebuah upaya untuk menafsirkan kembali warisan suci sambil melestarikan dasar-dasar spiritualnya, hal tersebut tercermin dalam argumen ini.  Seperti yang pernah dilontarkan oleh seorang filsuf Islam, Abdolkarim Soroush bahwa "teks memang diam, tetapi konteks selalu berbicara".

Referensi:

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
    Lihat Filsafat Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun