Banjir, seperti sebuah kenangan dengan dua rasa: menyenangkan dan menjengkelkan. Menyenangkan karena banjir mendatangkan rejeki bagi sebagian orang, seperti penjual jasa sewa payung, penyewa gerobak untuk angkut orang dan kendaraan, penjual mantol dadakan, penjual bakso dan mie ayam, dan yang lainnya.Â
Tapi, banjir juga menjengkelkan, sangat menjengkelkan malah. Akses jalan terhambat, sebagian orang yang rumahnya terendam banjir harus (rela) tinggal di pengungsian, belum lagi rawan bahaya hewan buas, bahaya setrum listrik, dan yang lainnya.
Pada dasarnya, sebab musabab terjadinya banjir tidak bisa tunggal atau berdiri sendiri. Banyak aspek penyebab banjir yang saling terkait. Buruknya drainase menyebabkan air tidak bisa mengalir dengan lancar. Drainase buruk karena penuh oleh sampah anorganik, selin juga karena tidak rutinnya aktivitas pembersihan. Sampah-sampah menggunung dan menghambat laju air, akibat perilaku buruk manusia yang membuang sampah sembarangan. Rendahnya kesadaran untuk tertib dan hidup bersih berawal dari pola pikir yang oversimple, terlalu meremehkan atau sembrono.
"Agh. Buang sampah satu bungkus plastik ke sungai tak kan berdampak apa-apa," begitu pikirnya. Nyatanya, jika satu juta orang berpikir hal yang sama, maka akan ada satu juta bungkus plastik yang menjadi sampah tak bertuan. Maka, kesadaran hidup tertib dan bersih tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang, satu keluarga, atau satu RT saja. Ini harus menjadi kesadaran kolektif, kampanye hidup sehat terus menerus, dan tidak pernah berhenti.Â
Agar kesadaran kolektif bukan hanya jargon dan kampanye jelang pilkada, maka tiga pilar pelaku perubahan yaitu keluarga, (pendidikan di) sekolah, dan masyarakat harus saling sinergi.Â
Contoh sederhananya begini: Wiwit (bukan nama sebenarnya) selalu mengikuti nasihat ibunya dengan membuang sampah pada tempatnya. Begitu pula saat di sekolah, guru dan teman-temannya juga tertib membuang sampah di tempat sampah.Â
Bahkan Wiwit aktif terlibat dalam Pengurus OSIS yang getol melakukan gerakan Hidup Bersih. Tapi, sepulang sekolah, di dengan mata kepala sendiri, Wiwit melihat penumpang sebuah mobil membuang bungkus plastik di jalan. Wiwit kaget. Wiwit hanya bisa menghela napas panjang (dan saya juga).
Tentu, kita berharap tidak terjadi banjir di awal tahun 2021 ini. Jika banjir 2021 melanda, setidaknya kita sudah siap mengantisipasinya. Termasuk berharap pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah maupun mengatasi dampak jika banjir terjadi.Â
Patut diwaspadai daerah-daerah rawan banjir dengan curah hujan tinggi di bulan Januari-Februari, sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang Meteorologi: Guswanto, M.Si dari BMKG, dalam siaran pers tanggal 10 Januari 2021 di situs www.bmkg.go.id.
BMKG menyampaikan bahwa Puncak Musim Hujan akan terjadi di bulan Januari dan Februari 2021. Saat ini di bulan Januari 2021 tercatat sebagian besar Wilayah Indonesia, yaitu 93% dari 342 Zona Musim telah memasuki musim hujan. Sebagian besar wilayah terutama Jawa, Bali, Sulawesi Selatan hingga Nusa Tenggara saat ini hingga Februari juga telah memasuki PUNCAK musim hujan.Â
Banjir 2021 tentu tidak kita harapkan akan terjadi secara masif. Maka, sekali lagi peran kita semua, mulai dari sendiri untuk tetap melakukan hal-hal baik, bagi pencegahan terjadinya banjir.Â