Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Terima Kasih Ibu

5 Desember 2020   18:08 Diperbarui: 5 Desember 2020   18:11 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Ya wes ora papa."

Kata-kata ibuku masih kuingat hingga sekarang. Bahkan ekspresi wajah ketakutanku masih bisa aku bayangkan. Sore itu, aku mendapat jadwal cuci piring. Sebenarnya, kami (tiga bersaudara laki-laki) sudah biasa melakukannya. Tapi, entah kenapa, sore itu aku begitu bersemangat untuk mencuci piring. Dengan menggunakan sabun colek, mulailah aku cuci satu persatu piring kotor, dan kubilas dengan air bersih.

Piring sejumlah satu lusin kutumpuk dan siap kutata ke rak piring. Dan... saat tumpukan piring bersih itu sudah berhasil kuangkat, tiba-tiba keduabelas piring itu meluncur ke tanah dengan cepatnya. "Praaang..." Pecahan beling berhamburan ke mana-mana.

Sekembalinya ibu bapakku dari pergi untuk sebuah keperluan, aku langsung mengaku dengan tangis yang tertahan. Jika bapak dan ibuku marah pun, pasti kuterima. Bahkan jika bapak mau pukul, aku pun akan terima. Tapi, di luar dugaanku, ibu hanya bilang, "Ya wes ora papa. Barang donya bisa digolet maning!" (Ya sudah tidak mengapa. Barang duniawi bisa dicari lagi). Nah, itu pelajaran pertama dari ibu tentang besarnya pengampunannya, saat usiaku baru 9 tahun. Amarahnya yang kutakutkan tidak pernah terjadi.

Selain cuci piring, sebenarnya ibu membiasakan kami melakukan aktivitas domestik, seperti menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju, dan menyetrika. Meski pekerjaan itu terkesan agak aneh bagi kami anak laki-laki, toh aku dan kedua kakak adikku tetap melakukannya. Tidak ada pilihan lain.

Tetapi begitulah ibuku menjadi guru kehidupanku, mulai dari hal-hal kecil, remeh temeh, hingga hal-hal paling krusial dalam hidupku. Sungguh, ibu sekolah pertamaku. Ibu yang memberiku bekal bukan secara materi, tetapi jauh lebih besar dari itu: kemampuan mengatasi persoalan. Keterampilan-keterampilan dasar yang diajarkan oleh ibu sangat berguna saat aku merantau dan harus melakukan segala sesuatu sendiri. Bahkan, dengan pembelajaran dasar itu pula yang membuatku berani bekerja saat usiaku masih SMA, sehingga untuk uang saku tak lagi mengandalkan orangtua.

Semakin beranjak dewasa, aku dan ibuku justru semakin menjauh karena jarak. Tapi tidak secara batin. Aku merasa semakin dekat, bahkan jauh lebih dekat setelah aku merantau ke Jogja. Saat pulang liburan sekolah, ibu menyambutku dengan memasakkan makanan favoritku, tempe dan sayur bayam, atau pete dan ikan tongkol. "Ini ibu masakkan makanan kesukaanmu!" kata ibuku. Aku sendiri tak pernah mengamati jenis makanan yang kusuka, tapi hanya ibu yang tahu persis detail dan pernak-perniknya. Itulah pelajaran kedua dari ibuku, memberikan diri seutuhnya bagi anak-anaknya. Sungguh, ibu sekolah pertamaku. Ibu yang mengajariku untuk mengeja, membaca, dan menulis buku kehidupan dengan tanpa ragu.

Ibu, tak pernah sekalipun mengeluh sakit. Bahkan terakhir kali, tiga tahun yang lalu, saat ibuku jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit, saat aku telpon, ibu hanya mengatakan "baik-baik saja". Sifatnya hampir sama dengan bapak, yang tidak pernah pamer "rasa sakit" kepada anak-anaknya. Belakangan aku tahu, baik ibu maupun bapak tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir atau bersedih. Itu pelajaran ketiga dari ibu, yang selalu berupaya membahagiakan anak-anaknya. Sungguh, ibu sekolah pertamaku.

Saat pulang ke rumah, kebiasaanku yang lain adalah menemani ibu memasak di dapur. Jangan bayangkan dapur kami modern dan mewah. Tidak. Sejak aku kecil (bahkan hingga sekarang), ibu lebih suku masak menggunakan tungku tanah liat, dengan kayu bakar. "Rasa makanannya lebih enak dibanding pake gas!" kata ibu. Aku tidak tahu apakah alasan itu benar adanya, atau sekadar alibi dari ibu menghindari keribetan menggunakan gas.

Sesekali aku bantu ibuku menambah kayu bakar di perapian, sambil bercerita selama aku sekolah. Demikian pun ibuku akan berkisah panjang lebar tentang si anu, si itu, dan bicara apa saja yang menarik dan tidak menarik. Tapi yang pasti, aku menikmati kebersamaanku dengan ibu. Baru aku tahu, bahwa ibuku sebenarnya punya banyak cerita, terkadang ibu juga melucu atau sekadar tertawa mendengar kelucuanku.

Begitulah ibuku, orangtua sekaligus guruku yang abadi. Ia tidak banyak bicara, tetapi memberikan contoh dalam tindakannya. Tak kurang dan tak lebih, terima kasih tak terhingga untukmu, ibu sekolah pertamaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun