Mohon tunggu...
Aksi Cepat Tanggap
Aksi Cepat Tanggap Mohon Tunggu... Jurnalis - Organisasi Kemanusiaan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menjadi organisasi kemanusiaan global profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik http://act.id Aksi Cepat Tanggap (ACT) Foundation is a professional global humanitarian organization based on philanthropy and volunteerism to achieve better world civilization

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merajut Keikhlasan di Sepetak Tenda Darurat

20 Februari 2020   10:34 Diperbarui: 20 Februari 2020   10:32 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu dan anak-anak yang berada di pengungsian Kampung Seupang, Pajagan, Sajira, Lebak, Senin (17/2). Tempat ini jadi pengungsian sejak banjir bandang awal 2020 lalu. (ACTNews/Eko Ramdani)

Hampir dua bulan ratusan warga tinggal di tenda pengungsian Kampung Seupang, Desa Pajagan, Sajira, Lebak. Kehidupan mereka berubah, termasuk ibu rumah tangga yang harus mengurusi keluarganya.

ACTNews, LEBAK -- Terpal biru yang dibuat serupa rumah jadi tempat tinggal Arinah, suami, dan anak-anaknya untuk sekarang ini, Senin (17/2). Banjir bandang telah menghancurkan kediaman keluarganya dan puluhan rumah lain. Tak ada harta benda yang dapat diselamatkan Arinah, yang tersisa hanya baju yang saat itu ia kenakan.

Usia anak paling kecilnya tiga tahun. Arinah terpaksa mengajak anak bungsunya untuk tinggal di pengungsian sejak awal Januari 2020 lalu. Tak ada cara lain, ia tak memiliki lagi uang untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak untuk hidup bersama anak-anaknya.

"Ya karena enggak punya uang lagi, terpal ini aja dari bantuan," jelasnya kepada tim ACTNews, Senin (17/2) di tendanya di Kampung Seupang.

Arinah berupaya bertahan di tengah keterbatasan. "Ikhlas", kata yang kini ia terapkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga di sepetak tenda darurat. "Bedanya mungkin sekarang untuk ke kamar mandi harus gantian sama pengungsi yang lain karena kamar mandi yang ada kan dipakai buat bareng-bareng," tambahnya.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, Arina dan ibu rumah tangga lainnya yang berada di pengungsian mengandalkan bantuan air bersih dari dermawan. Air Sungai Ciberang kini tak dapat lagi dimanfaatkan untuk konsumsi. Airnya berubah menjadi cokelat sejak banjir bandang awal tahun lalu.

Berdasarkan data yang dihimpun tim Aksi Cepat Tanggap (ACT), jumlah penyintas banjir di Kampung Seupang mencapai 284 jiwa, 62 jiwa di antaranya ibu rumah tangga dan 39 balita. Mereka semua bertahan di lebih kurang 50 tenda pengungsian. Tenda pengungsian mereka dibuat model panggung untuk mengurangi rasa dingin dari lantai tanah. Walau begitu, saat hujan atau malam, tenda pengungsian tak dapat menahan udara dingin.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan, warga hanya mengandalkan bantuan. Dapur sederhana biasanya ada di masing-masing tenda. Warga biasanya tak masak untuk keluarganya saat ada bantuan makanan siap santap. Misalnya ketika Humanity Food Truck memberikan layanan makan gratis.

Kini, hampir dua bulan warga bertahan di bawah tenda pengungsian. Mereka masih belum tahu akan dibawa ke mana keluarganya. Mengikhlaskan keadaan jadi cara sebagian besar warga dan mencoba hidup seperti biasa layaknya di rumah mereka yang telah hancur dilanda bencana.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun