"Hidup yang terlihat berhasil belum tentu terasa bermakna."
Suatu malam, seorang teman bertanya, "Kapan kamu merasa benar-benar sukses?"
Aku diam lama. Bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi karena terlalu banyak versi yang berseliweran di kepala.
Apakah saat aku mendapat pekerjaan pertama?
Saat aku lulus dengan predikat terbaik?
Atau ketika aku bisa membayar semua tagihanku sendiri?
Semua itu terlihat seperti kesuksesan. Tapi jujur saja, tidak semuanya terasa bermakna.
Dan dari sana, muncul satu pertanyaan yang belum selesai sampai sekarang:
Apakah hidup yang sukses selalu berarti hidup yang bermakna?
Kesuksesan yang Diukur dari Luar
Dunia modern memberi kita peta sukses yang jelas: IPK tinggi, pekerjaan mapan, penghasilan besar, properti, aset, pasangan ideal, dan pencapaian yang bisa dipamerkan di media sosial.
Dan itu tidak sepenuhnya salah.
Siapa pun berhak punya ambisi.
Siapa pun boleh bangga dengan pencapaiannya.
Tapi seringkali, kesuksesan yang kita kejar adalah versi kolektif: standar yang disepakati oleh banyak orang, bukan sesuatu yang lahir dari kebutuhan dalam diri.
Kita lupa bertanya:
Apakah ini benar-benar tujuan yang aku pilih?
Atau ini hanya check-list hidup orang dewasa yang aku salin mentah-mentah?
Makna yang Tumbuh dari Dalam