Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Honorer, Antara Tuntutan Profesionalisme dan Peningkatan Taraf Hidup

27 Februari 2018   10:23 Diperbarui: 27 Februari 2018   10:36 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sejumlah guru honorer yang tergabung dalam Federasi Guru Honorer (FGH) Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, memprotes upah mereka yang masih di bawah standar kelayakan, Rabu (18/5/2011). (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Pada tanggal 15 Februari 2018 yang lalu, INOVASI yang merupakan sebuah program pendidikan yang dibiayai oleh pemerintah Australia, mengadakan kegiatan eksplorasi masalah yang dialami oleh para guru di salah satu sekolah dasar di kecamatan Hahar, Sumba Timur.

Dalam kegiatan tersebut dijumpai masalah-masalah yang dialami oleh para guru. Pada kesempatan tersebut, Ibu Mardiana mengisahkan bahwa ia sudah mengajar selama 13 tahun. Ia hanya lulus SMA dan diminta oleh sekolah untuk mengajar karena sekolah kekurangan guru. Pada waktu mengajar ia asal mengajar karena tidak memiliki pengetahuan tentang metode mengajar.

Untuk mengembangkan komptensinya, ia melanjutkan kuliah PGSD jarak jauh. Uang honor (300 ribuan per bulan) yang ia terima per triwulan dari sekolah sama sekali tidak cukup untuk membayar uang kuliah dan biaya hidupnya. Akhirnya ia mengajar sambil jualan kue (http://www.nttonline.com).

Cerita tentang ibu Mardiana di atas merupakan satu dari ratus ribu guru honorer yang ada di negeri ini. Mereka yang dengan segala keterbatasan atau kekurangan yang mereka miliki berusaha sekuat tenaga mencerdaskan anak bangsa. Namun usaha serta perjuangan mereka tidak sepadan dengan gaji yang didapatkan. Mereka juga seringkali kurang dihargai dan dihormati. Mereka layaknya sebagai kaum pinggiran dalam dunia pendidikan.

Yang lebih menyakitkan lagi banyak dari antara mereka yang hidup miskin dan tidak memiliki wibawa sehingga diremehkan dan bahkan kadang dilawan oleh para siswa. Tentu masih segar dalam ingatan kita kasus Ahmad Budi Cahyono seorang guru honorer seni rupa  di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur yang meninggal karena dipukul oleh muridnya sendiri.

Saya yakin masih banyak kisah tragis lain yang dialami oleh guru honorer yang luput dari pantauan publik selain karena guru honorer malu meng-ekspose-nya atau juga minimnya sarana informasi terutama di daerah 3T. Miris, tetapi itulah kenyataan yang telah terjadi dan bahkan sedang terjadi hingga saat ini.

Pertanyaan yang selalu dan sering diangkat ke permukaan adalah apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki nasib para guru honorer ini. Ada begitu banyak solusi berkeadilan yang ditawarkan namun tak satu pun yang terealisasi. Guru honorer pun tetap bertahan dalam litani piluh. Ketika kesempatan kerja terbatas dan usia yang kian beranjak senja maka mau tidak mau, suka tidak suka guru honorer terpaksa menerima nasibnya sebagai situasi terberi.

Kenyataan ini sudah pasti berdampak pada mutu pendidikan. Bagaimana guru honorer bisa mengembangkan kompetensinya profesionalnya sebagai guru yang selaras zaman kalau gaji yang ia dapatkan tidak sanggup memenuhi kebutuhaan hidupnya?

Tentu saja, kita tidak perlu berharap lebih pada pemerintah atau pun anggota DPR yang terhormat, tentang pembahasan revisi UU ASN yang belum kelar untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Dan hemat saya, yang paling penting yang harus dibenah adalah menejemen pendidikan di tingkat sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan komite sekolah.

Kepala sekolah dan komite sekolah inilah yang memiliki tanggung jawab secara langsung terhadap kehidupan guru honorer, baik dari segi peningkatan kompetensi maupun dari segi pembiayaan. Kedua pemangku kepentingan ini mesti memiliki kepekaan yang tinggi untuk kemajuan sekolahnya serta kesejahteraan guru-gurunya.

Menjadi pertanyaan, mengapa ada sekolah yang bisa menggaji guru honorernya setara gaji PNS dengan golongan terendah bahkan lebih? Tentu ini tidak terlepas dari kebijakan kepala sekolah bersama komitenya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun