Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosok Absurd dan Makhluk Simulakra

15 Maret 2018   11:50 Diperbarui: 15 Maret 2018   16:08 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: illustratedprogress.com | Keiichi Matsuda, HYPER-REALITY

Malam itu kira-kira tersisa tinggal sepertiga. Saya benar-benar merasa sangat lapar, hingga memutuskan menyusuri jalan-jalan di sekitar Kalibata, mencari sesuatu sekadar buat pengganjal perut, sembari menunggu pagi tiba. Di pinggir trotoar, saya memungut sepotong kertas koran bekas pembungkus kacang yang tergeletak. Saya membacanya sambil lalu, dan berhenti ketika menemukan sebuah kata: "Madyan".

Ingatanku seketika terlontar ke masa lebih 30 tahun silam. Terkenang pada masa SMA kelas tiga dengan seorang guru, oleh kami para siswa memanggilnya, Ibu Madyan. Beliau mengajarkan ilmu biologi. Kalau beliau masih hidup (semoga) berarti usianya sudah mendekati 80 tahun. Seingat saya, beliaulah satu-satunya guru yang memberi perhatian lebih pada saya. Mungkin menurutnya, saya termasuk siswa yang memiliki minat pada ilmu biologi yang paling menonjol. Tetapi meski saya sangat respek dan sayang kepadanya, namun saya tetap saja suka membantahnya. Ah, itu hanya cara untuk mendapatkan perhatiannya.

Suatu hari di dalam kelas, berlangsung diskusi seru tentang asal-usul kehidupan. Tepatnya, dari mana kehidupan berasal. Lazarro Spanlanzani, Charles Darwin, hingga Stanley Miller, bolak-balik di sebut tiada henti. Tetapi Darwin lah yang paling banyak menguras waktu, energi, dan emosi yang bahkan terasa mendidih hingga di ubun-ubun.

"Kafir!" Teriakku dengan sangat keras.

Saya tak tahan melihat guruku itu tampak begitu nyaman dengan gagasan Darwin tentang Evolusi. Sedangkan untuk membantahnya, saya sendiri tidak memiliki cukup argumentasi. Rupanya teriakan kafir itu membuatnya sangat marah sampai matanya berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan kelas.

Cukup lama saya tak digubris, sekali pun sedang berdiri di depan kelas menjalankan tugasnya. Sedang di sisi lain, karena merasa tidak bersalah, saya pun enggan meminta maaf, kendati sangat menyesal. Kupikir nilai biologi di buku raporku hancur. Eh, ternyata baik-baik saja.

"Maafkan saya, ibu," gumamku yang tiba-tiba merindukannya.

Darwin, seperti kita ketahui, membangun teori evolusinya di atas premis tentang seleksi alam, adaptasi, survivalitas, dan kepunahan. Dalam "On the origin of species", Darwin begitu sangat yakin bahwa perbedaan spesies terjadi karena seleksi alam (evolusi). Hanyalah yang mampu beradaptasi yang dapat bertahan hidup. Kalau tidak, punah.

Premis Darwin tentang seleksi alam, adaptasi, dan survivalitas, bagi saya bukan masalah. Apalagi, saya memang tidak cukup memiliki pengetahuan yang memadai untuk menegasinya. Padahal, meskipun sebenarnya sains modern juga sudah tak terlalu menggubrisnya. Kalau pun saya menolak, itu lebih karena doktrin "Adam manusia pertama", terlanjur tertanam kuat di benak saya, sehingga tidak bisa melihat kemungkinan lain.

Sebaliknya, kalau Teori Evolusi itu saya terima, maka saya pun harus menerima konsekuensi logis dari penerimaan itu, yaitu, bahwa kita dengan bangsa primata berasal dari moyang (asal) yang sama. Ini yang sulit bagi saya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa saya setuju premis tersebut, sudah tidak berlaku. Karena menurut hemat saya, premis tentang adaptasi dan survivalitas itu, justeru sangat relevan untuk melihat realitas manusia modern.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa untuk mencapai status sosial, ekonomi, dan politik tertentu yang lebih tinggi, manusia modern harus pandai berpura-pura, pintar menjilat, bahkan sampai harus melacur. Manusia modern berlomba membangun citra diri melampau dirinya sendiri. Padahal yang dicitrakan bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Itulah realitas manusia modern yang sudah dianggap jamak. Oleh Baudrillard, realitas ini disebut sebagai hyperrealitas. Tetapi sejatinya adalah wujud adaptasi demi survivalitas itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun