Mohon tunggu...
Yantho Jehadu
Yantho Jehadu Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Musafir di Lautan Ide. Aktif menulis lepas di media massa, buletin, majalah akademik lokal, dan internet.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Orang Besar Turun Lapangan

15 November 2012   07:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:19 2595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang Jokowi turun lapangan, 'menjenguk' dan melabrak langsung instansi pemerintahan di bawahnya, lalu menyapa langsung masyarakat di daerah urban yang kumuh, sungguh membuat orang terpesona. Media komunikasi ramai memberitakannya. Begitupun kesan nyentrik pak Dahlan Iskan, konon dikabarkan luput dari 'mati' saat harus menjalani operasi pengangkatan hati, juga turun lapangan untuk memantau langsung kerja lembaga BUMN pimpinannya. Ia pun ramai dijadikan 'buah bibir' media. Di luar jajaran pemerintahan, belum lama ini, ada kabar bahwa anak dari owner perusahaan besar di tanah air lebih suka makan nasi rawon di pinggir jalan dari pada memesan makanan di hotel berbitang lima. Gila!!

Dari sekian banyak figur, saya tertarik dengan dia yang sudah setamat 70-an. Mungkin belum berujung duri jika dibedah dari dunia kedokteran. Belum setua jompo jika dipersandingkan dengan kaum lansia. Dan belum seuzur buyut ketika memandang perawakannya. Itu semua tidak sekadar bualan kalau mendengar kata-kata inspiratifnya. Ide-idenya mengalir. Pikirannya runut dan logis. Tak salah, kalau banyak orang bahkan harus berjibaku, membentuk dua sampai tiga barisan mengelilingi dia hanya agar suaranya bisa terdengar.

Sebetulnya bukan hanya karena pikiran-pikiran cerdasnya yang membuat orang NTT terpesona, terobosannya untuk turun lapangan dan menjenguk langsung masyarakat  membuat saya terdorong untuk menulis dan akhirnya mengguratkan ide kalau beliau adalah seorang pahlawan. Itu dilakukannya jauh sebelum Jokowi dan Dahlan ramai dikabarkan media massa.

Operasi Nusa Makmur dan Nusa Hijau

Benediktus Mboi, biasa disapa Ben adalah putra daerah NTT yang punya riwayat hidup yang begitu memikat. Ia memulai karirnya sebagai pendidik lalu menjadi dokter militer. Atas reputasinya, ia pun dipilih sebagai Gubernur NTT pada tahung 1978 - 1988 (2 Periode). Banyak cerita menarik tentang beliau. Namun, Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (OPH) adalah dua gebrakan yang tidak akan pernah dilupakan masyarakat NTT.

Era tahun 1980-an adalah masa kepemimpinannya di  kawasan NTT. Saat itu, NTT tak ada apa-apanya. Dalam benak banyak orang, daerah nusa tenggara yang satu ini sangat kering dan tandus. Sepintas orang akan menyejajarkan kawasan ini dengan daerah bergejolak. Penghuninya pun dianggap berperawakan keras dan bertemperamen kasar. Karena itu, menjadi pemimpin saat itu adalah suatu keniscayaan sekaligus sebuah beban yang berat.

Masih teringat dalam benak saya, beliau melancarkan Gerakan Hijau. Ia menyebutnya Operasi Nusa Makmur dan Nusa Hijau. Tujuan utamanya adalah menghijaukan NTT yang "kuning" kering dan memakmurkan masyarakat flobamora yang miskin.  Berbagai lahan tidur pun dibuka, digembur, dan ditanami padi. Setiap keluarga diwajibkannya untuk menanam pepohonan. Dinas-dinas perkotaan diwajibkan menanam pohon hijau. Pokoknya semua harus menanam.

Ide yang mulus ini tentu tak semulus sutra. Apapun bentuknya, sebuah usaha tentu tak pernah luput dari tantangan. Ada ribuan kritikan yang menghadang beliau, entah suara-suara kritis yang mengejek dan menantang, maupun gejolak daerah nusa tenggara yang "panas". "Panas" karena banyak terjadi pertumpahan darah antarkelompok, antarsuku, bahkan antarkeluarga. Polemik tanah adalah sebabnya. Pada tahun-tahun itu saja, diperkirakan ratusan rumah terbakar dan puluhan jiwa lenyap dibabat senjata tajam dan senjata tumbuk.

Anehnya, "perang tanding", begitu mereka menyebutnya, justru dijadikan legitimasi akhir untuk menuntaskan polemik. Bukan tanpa alasan, orang-orang desa sudah tak patuh lagi pada hukum adat. Mereka pun sudah "kebal" dengan ajaran agama. Dan yang paling menyakitkan, para ksatria perang (kebanyakan orang-orang bayaran yang memiliki kemampuan mistis/gaib yang tinggi) ingin mengetahui seberapa hebat diri mereka.

Turun Lapangan

Menyiasati polemik yang ada, beliau tidak tutup mulut dan berpangku tangan. Ia turun langsung ke daerah sengketa dan berdialog langsung dengan penantang-penantangnya. Berkali-kali, ia turun lembah dan mendaki gunung untuk mendamaikan mereka yang bertikai sekaligus mengunjungi warganya. "Saya sudah keliling NTT. Turun naik gunung. Masuk keluar desa. Kadang-kadang saya berkuda, itu pun sebagian kecil dari rute jalan kaki saya", kisahnya dalam suatu kesempatan. Tak diragukan memang, tatkala ada orang dari kampung yang menyambangi dia, ia akan bertanya tentang daerah asal orang itu. Kadang-kadang, orang tersebut sampai malu karena tak semua wilayah di sekitar kampungnya ia kenal. Malahan beliau yang lebih jauh mengenalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun