Nama asli beliau adalah Ismail, tetapi semua orang Kalipahit, desa kami yang berada di pelosok tenggara kabupaten Banyuwangi, memanggilnya mbahyaiMangil. Yang paling menarik dari lelaki bertubuh mungil itu adalah wajahnya. Sejak saya masih Madarasah Ibtidaiyah  sampai berumur 51 tahun sekarang ini, raut muka bersih, cerah dan bercahaya itu  tidak banyak berubah.
 Mestinya saya yang paling yakin akan karomah pria sepuh itu. Tetapi tidak. Menurut saya, Kyai Haji Ishaq Lc, MA, pengasuh pondok pesantren "An-Nur", satu-satunya adik kandung mbah yai, menduduki level keulamaan jauh lebih tinggi. MbahMangil hanya memiliki langgar kecil dan saya tahu persis dia tidak pernah Jum'atan. Banyak yang bilang, mbah yai biasa sembahyang Jum'at di Makkah. Saya tentu saja  tidak percaya dengan desas-desus itu. Bagaimana mungkin beribadah Jum'at di Makkah wongmbah Mangil belum pernah menunaikan ibadah haji ?!
Akhir tahun 1984, seorang teman kuliah ikut berlibur ke Banyuwangi. Jum'at siang itu kami tengah berboncengan sepeda onthel ketika tiba-tiba mbahMangil berdiri di tengah jalan merentang tangan, menghadang. Jangan-jangan kami disuruh mengisi kulahmusholanya ?! Takut ketinggalan Jum'at sayapun menghindar, memacu sepeda lebih laju menuju masjid.
Selain pada peristiwa pencegatan itu, sampai sekitar satu setengah bulan yang lalu, saya tidak pernah bertatap wajah  langsung dengan mbah yai Mangil. Waktu di MI, sesekali saya melihatnya dari jauh. Namun demikian, perjalanan hidup saya nyaris  selalu bersinggungan dengan beliau. Bapak saya adalah teman sekamar beliau, tatkala  nyantri di sebuah Pondok Pesantren besar di mBerasan, sekitar 40 kilometer dari Kalipahit.
Suatu kali bapak memboncengkan mbahMangil, mereka akan kembali ke pesantren usai libur lebaran. Sekitar 5 kilometer sebelum sampai, tiba-tiba hujan turun sangat deras. "Pripun, Gus, kita terus saja atau ngeyup?!" tanya bapak keras-keras sambil terus mengayuh pedal sepeda,"Terus saja kang Jalil, nanggung !" sahut yang dibonceng, juga dengan berteriak.
Sesampainya di pondok, bapak yang menggigil kedinginan karena sekujur tubuhnya basah kuyup sangat terkejut, Gus Ismail melenggang santai dihadapannya, tidak setetespun air menempel di baju putih dan sarung warna biru itu. Sejak saat itu bapak berkeyakinan bahwa  teman karibnya itu adalah seorang waliyullah, kekasih tuhan. Dan sampai akhir hayatnya bapak selalu mengikuti apapun dawuhmbah yai.
Sejak di Madarasah Ibtidaiyah, setiap kali ujian semester, saya dan adik-adik harus minum air putih dingin yang semalam sudah disuwukmbah yai. Saya tidak tahu ada hubungannya atau tidak, selama MI nilai rapor kami tidak pernah keluar dari 3 terbaik.
Ketika saya lulus MI, sebetulnya bapak, seperti bapak-bapak lainnya di Kalipahit, menghendaki saya  mondokdi pesantren, tetapi mbah yai Mangil melarang. Beliau malah menyarankan agar saya dimasukkan di SMP Muhammadiyah yang ada di tetangga kecamatan. Sayapun menjadi anak orang  Nahdlatul Ulama kalipahit pertama yang sekolah di Muhammadiyah.
Di SMP, ritual minum air putih berlanjut dan  gelar juara umum  tidak pernah lepas dari tangan saya. Pak Haji Drs.Toharuddin, kepala Sekolah SMP Muhammadiyah secara khusus menemui bapak, menyarankan agar saya melanjutkan sekolah di SMA Muhammadiyah II Yogyakarta. "Tidak usah khawatir dengan masalah dana pak Jalil, ananda bisa tinggal di rumah kepala Sekolah SMA Muha, beliau adalah kakak kandung saya sendiri," ujar pak Toha, mungkin karena melihat keraguan dan kebingungan di wajah bapak. Bapak hanyalah seorang petani kecil, membiayai sekolah sampai ke kota pelajar adalah sesuatu yang musykil. Mbah yai Mangil sangat mendukung dan sangat bergembira mendengar kabar itu.
Tahun 1981, saya berangkat ke Yogyakarta. Saya njujug dan tinggal di rumah pak Haji Drs.Miftahuddin, kakak sulung pak Toha. Sejak  itu, baik di sekolah maupun di rumah, saya bergaul dengan orang-orang Muhammadiyah, namun kebiasaan minum air putih sebelum ujian masih berlanjut. Bapak secara rutin mengirimnya dari Banyuwangi. Dan meskipun di kelas I saya  tidak masuk sepuluh besar, namun ketika naik ke kelas III saya juara I di kelas III IPA 5 dan bertengger di kursi juara umum III.