Mohon tunggu...
Yani Nur Syamsu
Yani Nur Syamsu Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Biografometrik Nusantara

Main ketoprak adalah salah satu cita-cita saya yang belum kesampaian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Letjend (Purn) Agus Widjojo, Mayjend (Purn) Kivlan Zein dan "G 30 S/PKI"

29 September 2017   13:21 Diperbarui: 29 September 2017   18:06 4528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

September layak disebut sebagai bulan gaduh nasional. Orang orang dari semua strata kembali ribut memperdebatkan siapa pelaku dan siapa korban dalam peristiwa kelam "G 30 S/PKI"  yang terjadi lima puluh dua  tahun lampau itu. Dengan menyimak berbagai peristiwa dan acara penting setahun terakhir ini termasuk lalu lintas status di medsos, penulis berpendapat bahwa secara umum persepsi publik terkait "G 30 S/PKI" terbelah dalam dua "madzab" yang saling berhadapan.

Madzab pertama mengikuti  "suasana hati dan pemikiran" Letjend (Purn) Agus Widjojo, yang menganggap bahwa baik PKI maupun rezim orba memiliki kesalahan sedemikian rupa sehingga yang terbaik adalah saling memaafkan, melebur dendam  kemudian bersama sama membangun NKRI yang masih sarat dengan berbagai macam persoalan.

Kelompok kedua adalah "pengikut" Mayjend (Purn) Kivlan Zein yang beranggapan bahwa sejarah kelam itu adalah sepenuhnya kesalahan PKI dan "pembiaran" dari Bung Karno, sementara Jenderal Soeharto dan rezim orbanya adalah murni sebagai "penyelamat" Pancasila dan NKRI. Tanpa perjuangan pak Harto negeri ini pasti dikuasai sepenuhnya oleh PKI, oleh karena itu, Komunisme adalah bahaya laten yang harus terus diwaspadai dan "para pendukungnya" yang saat ini terus meningkat harus dilibas, bagaimanapun caranya.

Agus Widjojo dan Kivlan Zein adalah "kakak adik letting" di Akademi Militer. Agus yang lebih muda satu tahun lulus Akmil tahun 1970, setahun berikutnya  Kivlan menyusul. Setelah menjadi perwira TNI, sepertinya mereka berdua tidak pernah berada dalam satu kesatuan yang sama. 

Disamping terbukti sebagai tentara yang "peng-pengan", Agus juga dikenal memiliki kompetensi akademik yang cemerlang. Tiga gelar master berhasil diraihnya dari tiga perguruan tinggi Amerika serikat. Agus juga seorang penulis artikel produktif terutama tentang pertahanan keamanan. Tahun 2015 lalu, sebuah buku dengan judul "Transformasi TNI : Dari Perjuangan Kemerdekaan Menuju Tentara Profesional," terbit sebagai konfirmasi Agus adalah Jenderal Pemikir. Karier militer Agus berpuncak sebagai Kaster ABRI, dan saat ini beliau dipercaya Presiden untuk menjadi Gubernur Lemhanas.

Mestinya Agus memiliki dendam "lebih membara" kepada PKI dan "anak turunnya", karena ayahnya, Mayor Jenderal anumerta Sutoyo Suryomiharjo adalah salah satu korban kebiadaban PKI. Sebagai anak laki laki, adalah sangat wajar apabila Jenderal Agus menuntut balas atas kematiannya ayahnya. Alih alih menyemai benih  dendam dan kemarahan di hati, Agus memilih untuk merangkul dan memaafkan. Yang salah dan patut di hukum adalah para pelaku pemberontakan itu. 

Sedangkan anak keturunan mereka, adalah anak anak manusia yang mengalami kepahitan yang sama dengan dirinya sendiri, ditinggal mati oleh bapak tatkala masih sangat membutuhkan figur kepala keluarga. Bahkan kepedihan mereka bertumpuk dan berkepanjangan dengan kebijakan pemerintah orde baru yang puluhan tahun mendiskriminasi mereka dengan label "tidak bersih lingkungan". Agus berpendapat bahwa, anak keturunan tokoh dan anggota PKI sepenuhnya memiliki hak dan kwajiban yang sama dengan warga negara lainnya, terutama karena mereka tidak bisa memilih dari rahim siapa mereka akan dilahirkan.

Agus tidak berhenti hanya menyimpan pemikiran, dia berusaha keras untuk merealisasikan idenya. Maka dia pun mengkomunikasikan hal ini pertama dengan anak anak pahlawan revolusi yang lainnya. Kemudian membangun tali silaturahmi dengan anak anak tokoh PKI, mengembangkan saling pengertian, menggantikan permusuhan yang telah terbuhul antara orang tua orang tua mereka dengan sinergi dengan harapan seluruh anak bangsa mengikuti "jejak" mereka, bersama sama menatap masa depan dan melupakan masa lalu yang sangat kelam itu. 

Upaya membangun perdamaian diantara para pihak yang bertikai yang secara konsisten  dilakukan Agus berpuncak pada keberhasilannya menginisiasi "Simposium Membedah Tragedi 1965 melalui pendekatan kesejarahan" yang berlangsung April 2016. Symposium tersebut merupakan usaha mengungkap tragedy September 1965 pertama yang difasilitasi oleh pemerintah. Agus Widjojo sebagai inisiator sekaligus ketua panitya pengarah mengungkapkan bahwa penguakan dan penyelesaian tragedy 1965 merupakan langkah penting dalam membangun bangsa dan negara ke depan. 

Kita sebagai warga bangsa sudah lama terbelah (dalam menyikapi G 30 S/PKI), sementara hampir semua bangsa lain seperti kamboja, Vietnam dan Jerman yang pernah mengalami masa masa kelam telah berhasil berdamai dengan masa lalunya masing-masing. Kita, masih menurut letjend (purn) Agus Widjojo, harus bisa meniru mereka demi masa depan NKRI.

Namun  banyak pihak, sebagian adalah koleganya sendiri sesama purnawiran jenderal, yang sangat keberatan dengan upaya upaya rekonsiliasi tersebut. Bahkan selang dua bulan (juni 2016), terselenggara symposium nasional tandingan bertajuk "Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi lain". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun