Setelah sekian lama berencana, akhirnya kesampaian juga berkendara kereta api kelas ekonomi, sendiri. Dengan sendiri, saya benar~benar bisa mengeksplorasi setiap kondisi selama perjalanan.Â
Di kereta api apalagi di kelas ekonomi, lebih banyak ditemukan bahan cerita dari berbagai sudut pandang dan pengamatan. Bayangan saya, hubungan sosial para penumpang kereta ekonomi masih lebih cair ketimbang kelas eksekutif apalagi dibandingkan dengan penumpang pesawat.Â
Saling bercengkerama akrab bak keluarga sebagaimana saya nikmati belasan tahun yang lalu tatkala kami se keluarga rutin berkereta setiap libur panjang anak sekolah.
Namun ternyata bayangan saya salah.
Mereka asyik dengan gadget masing~masing. Hampir tidak ada waktu bersapa satu dengan yang lain. Hanya berinteraksi dengan dirinya sendiri. Kalau toch ada sapaan, terasa hambar, basa~basi dan bernada 'terpaksa'.
Walau begitu, saya tetap berupaya menikmati perjalanan hari ini.
Reduksi tiket kereta api sebesar 20 persen untuk lansia, mengawali acungan jempol-ku kepada KAI. Berapa-pun nominalnya, maksud baik memberi discount tiket khusus sudah mencerminkan hormat dan penghargaan kepada lansia. Ketepatan waktu sampai tujuan makin mendekati sempurna. Jarang didengar suara sumbang penumpang akibat keterlambatan jadwal kereta.
Fasilitas dalam gerbong kereta makin bagus. Sejuk ber AC. Toilet bersih. Petugas kebersihan rutin mengambil sampah yang diproduksi penumpang. Tidak ada penumpang tanpa tempat duduk.Â
Tak lagi ada pengamen dan pedagang asongan berlalu~lalang di lorong gerbong.
Suasananya mirip kelas eksekutif, cuma tempat duduk saja yang beda.
Di ruas jalan kereta dan stasiun, pembangunan fasilitas fisik sedang proses pembenahan. Rel ganda nampak sedang dikebut demi menambah kenyamanan dan kepastian waktu perjalanan kereta. Banyak stasiun dipercantik juga stasiun~stasiun kecil yang tidak saya kenal sebelumnya.
Perjalanan melewati empat provinsi, Jogja~Jawa Tengah~Jawa Barat~DKI Jakarta.
Memperhatikan perbincangan para penumpang, terdengar beraneka dialek yang unik. Dialek Jawa khas Jogja-Solo, Jawa mBanyumasan, Sunda sampai dialek Betawi. Bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa komunikasi di antara mereka dalam berinteraksi satu dengan yang lain.
Walaupun sempat kecewa tidak menemukan 'suasana kekeluargaan' di gerbong kereta sebagaimana saya bayangkan sebelumnya, namun masih banyak hal positif yang saya temukan hari ini.