Mohon tunggu...
M yahya wahyudin
M yahya wahyudin Mohon Tunggu... Atlet - Reasearcher

Orang bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Catatan Kritis: Urgensi Penerapan HAM dalam Konteks Negara Hukum

18 Desember 2020   13:30 Diperbarui: 12 Mei 2023   16:31 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut Muhamad Thahir Azhari sebagaimana dikutip oleh Ridwan (2003:2) bahwa istilah Negara hukum telah popular dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak lama sebelum berbagai macam istilah yang disebut-sebut sebagai konsep Negara hukum lahir, embrio munculnya gagasan Negara hukum dimulai oleh Plato. Plato memperkenalkan konsep Nomoi. Dalam konsep nomoi, plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang berdasarkan hukum (Pola pengaturan) yang baik. Gagasan tersebut kemudian didukung serta dikembangkan oleh Aristoteles dengan menggambarkan tentang Negara hukum dengan mengaitkanya pada Negara di zaman Yunani kuno yang masih terikat pada "Polis". Menurut Aristoteles, Negara hukum timbul dari polis yang mempunyai wilayah kecil, seperti kota dengan jumlah penduduk yang sedikit, segala urusan Negara dilakukan secara musyawarah dimana seluruh warga Negara ikut serta dalam penyelenggaraan Negara. Aristoteles berpendapat bahwa satu Negara yang baik adalah Negara yang dijalankan berdasarkan aturan konstitusi dan hukum yang berdaulat.

Secara historis dan praktis, konsep Negara hukum muncul dari berbagai model seperti Negara hukum menurut Al-Qur'an dan Sunnah atau nomokrasi Islam. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechstaat, Negara hukum menurut konsep Anglo saxon (Rule of Law),konsep socialist legality, dan konsep Negara hukum pancasila (Ridwan, 2003:11)

Secara eksplisit Indonesia menyatakan diri sebagai Negara Hukum, secara jelas konteks tersebut termaktub dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 "Negara Indonesia adalah Negara hukum". Hal itu bermula pada tahun 2001 dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan salah satu perubahan mendasar dengan memasukan konsep Negara hukum pada ketentuan pasal 1 ayat 3 tersebut. Semula prinsip Negara hukum ini terdapat dalam penjelasan UUD di bawah bagian system pemerintahan Negara yang antara lain berbunyi :
1. Indonesia ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
2. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Bagir manan (2011, 11)

Sebelum tahun 2001, MPR juga melakukan perubahan mendasar lainya dalam kaitanya dengan negara hukum, yakni menambah berbagai ketentuan hak asasi manusia yang hampir seluruhnya diadopsi dari Universal Declaration of Human Right (UDHR). Penambahan ini menurut Tim Lindsey merupakan a radical invention of the basic assumptions on wich the Indonesian state was faunded, (Tim Lindsey, 2004:301) satu pandangan yang wajar mengingat Indonesia menurut Soepomo didirikan atas dasar paham kekeluargaan (integralist state) yang tidak bertentangan antara Negara dan individu. Dalam siding-sidang BPUPKI, perdebatan mengemuka berkenaan dengan hak asasi manusia ini. Dari penelusuran historis, Bagir manan berpendapat bahwa perbedaan pendapat antara Soepomo dan Hatta tidak lagi berkenaan dengan penolakan hak asasi manusia oleh Soepomo, melainkan keberatan soepomo memasukan pengaturan hak manusia dalam UUD. Perdebatan ini akhirnya di selesaikan melalui kompromi yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945.

Perlu kita ketahui, bahwa salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. Konteks tersebut menunjukan korelasi yang sangat erat antara Negara hukum dengan hak asasi manusia. Namun, yang jadi persoalan mendasar adalah bagaimana melakukan pemenuhan terhadap hak-hak tersebut berlandaskan pada prinsip Negara hukum melalui lembaga-lembaga yang ada serta aturan-aturan yang tersedia, padahal karakter dari masing-masing generasi hak asasi manusia tersebut berbeda, persoalan menjadi bertambah serius apabila pemenuhan tersebut dibayang-bayangi oleh dikotomi antara universalisme dan partikularisme.


Selain itu permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah ketidaksesuaian antara Das sollen dan das sein, secara das sollen UUD 1945 beserta turunan Undang-undangnya menjamin tentang penerapan hak asasi manusia, namun berbeda dengan kenyataan atau kejadian konkrit yang terjadi atau das sein nya, masalah hak asasi manusia menjadi satu hal yang belum diterapkan oleh pemerintah, sejak dari berdiri sebagai satu Negara yang merdeka banyak sekali kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum di selesaikan oleh pemerintah, pemerintah silih berganti namun pelanggaran HAM terus terjadi.

Para pelaku pelanggaran HAM tersebut bebas berkeliaran dan bahkan tidak terjangkau oleh hukum atau dengan kata lain mereka dibiarkan tanpa adanya hukuman oleh Negara terhadap pelaku impunity. Impunitas yaitu membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran berat Hak Asasi Manusia seperti kejahatan genosida, kejahatan manusia, dan kejahatan perang tidak diadili merupakan satu fenomena hukum politik yang dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga hari ini.

Sebagai bahan ilustrasi, dimana saat ini kita sedang menunggu tindak lanjut atas rekomendasi tim pencari fakta kerusuhan Mei 1997 yang belum tuntas,tragedy yang dramatis pasca jejak pendapat mengenai penenentuan timor-timor menyusul, belum lagi pristiwa Tanjung Priok, penyerbuan kantor PDI, penculikan aktivis pro demokrasi, pembunuhan munir, penyerangan jamaah Ahmadiyah, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, tragedi Semanggi dan atau pristiwa unik pembunuhan dukun santet dan lain sebagainya. Rangkaian berbagai pristiwa yang mewarnai khasanah pelanggaran Hak asasi manusia di tanah air tidak satupun secara hukum terselesaikan.

Pengusutan tuntas dengan membawa ke pengadilan untuk menemukan pelaku utamanya sering kali kandas. Gambaran persoalan diatas menjelaskan bahwa penyebab "impunity" selain faktua juga bersifat normatif, karena alas an itulah barangkali yang dimungkinkan adanya pemberlakuan amnesty umum, atau secara basa-basi mengajukan pelakunya ke pengadilan, tetapi dengan vonis ringan karena dianggap hanya "kesalahan prosedur" bahkan vonis bebas.

Memproses secara hukum terhadap aparat khususnya TNI yang diduga melakukan pelanggaran hukum dan HAM selama ini memang dapat dikatakan tabu untuk dilaksanakan, aparat yang melakukan kesalahan cenderung mendapatkan kekebalan atau impunity. Dan bila tidak ada tuntutan yang keras dari masyarakat maka sering terjadi kasus yang melibatkan aparat Negara tidak sampai pada proses penyelesaian hukum secara tuntas. Dan jika tidak ada tuntutan dari masyarakat pun, dapat diperkirakan hasilnya pun cenderung kurang memenuhi asas keadilan masyarakat, kita ambil contoh Aksi Kamisan, sebagai satu bentuk tuntutan serta protes agar para pelaku tragedi semanggi 1 dan 2 bisa diadili. situasi tersebut semakin diperparah oleh pendapat jaksa agung yaitu Burhanudin yang menyatakan bahwa tragedi 1 dan 2 bukanlah tragedi HAM berat, apa yang dikatakan oleh jaksa agung sudah tidak diragukan lagi telah menyakiti para korban yang selama hamper 13 tahun menuntut keadilan, kemudian para korban mengadukan tuntutan ke pengadilan tata usaha Negara dan putusan sidang memenangkan para korban dan menunut agar jaksa agung menarik kembali ucapanya, namun sangat disayangkan, jaksa agung malah mengajukan banding dan tidak terima atas putusan pengadilan tersebut. Tidak lagi skeptic, hal tersebut menunjukan bahwa Negara masih melanggengkan impunitas.

Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 1 ayat 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang dasar. Jelaslah bahwa isi pasal 1 ayat 2 tersebut semakin mempertegas bahwa suatu Negara yang berdasarkan undang-undang dasar yang mengatur segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermula dari peraturan-peraturan hasil dari kedaulatan rakyat, didelegasikan kepada Negara yang bermuara demi kedaulatan rakyat itu sendiri, karena walaupun sebenarnya perangkat-perangkat yang ada dirasa sudah cukup memadai, tetapi dalam realitasnya hukum masih belum menunjukan keadaan seperti yang diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun