Mohon tunggu...
M yahya wahyudin
M yahya wahyudin Mohon Tunggu... Atlet - Reasearcher

Orang bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada, Konstitusi dan Nyawa Rakyat

25 September 2020   19:00 Diperbarui: 25 September 2020   20:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) pemerintah akhirnya meresmikan jika Pilkada serentak tahun 2020 tetap jatuh pada tanggal 9 Desember, rapat dengar pendapat itu dilakukan oleh DPR bersama Bawaslu, KPU dan jajaran kepolisian. 

Meski hal itu banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat dan organasiasi lintas masyarakat. Pemerintah tetap mengambil satu resiko besar yang mestinya bisa dicegah yaitu "nyawa rakyat", meski peraturan mengenai kepatuhan tentang protokol kesehatan dalam pemilu telah diatur dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2020, Peraturan Bawaslu nomor 2 tahun 2020 dan Peraturan KPU nomor 2 tahun 2020 bukan berarti hal itu bisa mencegah penularan atau menjadi hal yang pasti jika masyarakat bisa tertib dan disipilin menerapkan protocol kesehatan. 

Karena jika dilihat secara historis, sejak munculnya kasus corona di Indonesia tertanggal 2 Maret 2020 pemerintah sudah menerapkan beberapa kebijakan yang berisi peraturan-peraturan beserta sanksi-sanksinya yang bertujuan agar masyarakat bisa tertib akan protokol kesehatan. Tapi hasilnya bisa dilihat realitanya sekarang, jumlah kasus terus bertambah dalam jumlah yang sangat besar dan resesi menjadi hal yang pasti untuk Indonesia.

Alasan pemerintah tetap melanjutkan Pilkada pada tanggal 9 Desember 2020 adalah karena demi tegaknya Konstitusi dan penegasan terhadap konstitusi itu memang perlu. Masa jabatan kepala daerah 5 tahun telah tercantum dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Kemudian di satu sisi yang sangat penting konstitusi dalam Undang-undang dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 menegaskan jika Indonesia merupakan negara hukum. 

Salah satu prinsip dari negara hukum adalah supermasi hukum atau menjunjung tinggi hukum. Perlu dikolaborasikan antara Indonesia sebagai negara hukum dan Indonesia yang bersistem demokrasi. 

Guru besar Hukum tatanegara UNPAD Prof. Susi Dwi Astuti dalam buku Negara Hukum yang berkeadilan yang ditulis oleh Prof. Bagir Manan menyatakan "Demokrasi sebagai suatu sistem pengelolaan politik akan sangat mempengaruhi negara hukum. Tanpa demokrasi, hukum akan semata-mata menjadi alat legitimasi bagi penguasa. Sebaliknya, demokrasi tanpa hukum dapat berjalan kea rah sewengang-wenang."

Saya pernah menulis dalam satu tulisan yang berjudul "Pilkada 2020: Ujian Kemapanan Demokrasi" bahwa ada 2 resiko ketika Pilkada 2020 tetap diadakan ataupu ditunda, resiko pertama adalah ketika pilkada tetap diadakan pada tanggal 9 Desember maka pemerintah harus berani menanggung dan mencegah akan melonjaknya jumlah kasus positif corona dan itu tentunya berhubungan dengan nyawa rakyat. 

Resiko kedua jika pilkada ditunda maka harus berani untuk mengorbankan penegasan konstitusi. Mana resiko yang akan diambil oleh pemerintah? Dan resiko pertama ternyata lebih dipilih pemerintah sesuai dengan rapat dengar pendapat yang diadakan oleh Komisi II DPR bersama penyelenggara pemilu dan jajaran Kapolri. 

Dalam salah satu konsep maqhosid Syariah ada yang disebut dengan Hifdz an-nafsi. Atau menjaga jiwa. Seharusnya untuk mengambil sebuah keputusan yang memiliki resiko yang sangat besar di dalamnya pemerintah mestinya mempertimbangkan banyak hal termasuk kemaslahatan dan kemadharatan yang ada di dalamnya. 

Banyak sekali pihak yang memberikan usulan agar pilkada tahun 2020 ini ditunda, termasuk mantan wakil presiden Jussuf kalla, pak JK mengatakan jika saat ini kita semua dihadapkan dengan pilihan yang sangat pelik: mendahulukan kesehatan dan keselamatan jiwa atau pemilihan kepala daerah, kemudian lanjut pak JK, "Sederhana jawabanya, yakni kalua dalam proses pemilihan pemimpin itu sudah jelas-jelas justru membuat rakyat bisa sakit, bahkan meninggal, maka buat apa kita memaksakan keinginan untuk menyelenggarakan pemilihan tersebut".

Namun sepertinya nasi telah menjadi bubur, fiksasi mengenai pelaksanaan pemilu telah diresmikan dan segala bentuk persiapan serta tahapan-tahapan pilkada telah dilaksanakan. Tinggal bagaimana pemerintah bisa menerapkan berbagai peraturan yang telah diundangkan sebagai upaya penekanan penerapan protokol kesehatan saat pemilu. Hal itu harus diterapkan secara tegas sebagai upaya preventif kenaikan angka positif saat pemilu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun