Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ampuhnya Isu SARA, Menangkan Pilkada Jakarta

20 April 2017   05:06 Diperbarui: 20 April 2017   08:56 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahok-Djarot dan Anies-Sandi (news.detik.com)

Tak dapat dipungkiri, kemenangan Anies-Sandi sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih, sudah terbukti lewat ‘quick count’ berbagai lembaga survei, hingga sore hari pencoblosan 19 April 2017.

Namun yang ingin diulas kembali, bahwa isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), masih sangat ampuh menjadi alat propaganda. Padahal sesungguhnya, Pilkada adalah pertarungan program, pertarungan impian yang ingin dicapai, bagi masyarakat Jakarta.

Tentu, kedua hal tersebut sangat jauh berbeda. Faktor-faktor yang mendasari dan mempengaruhinya juga sangat berbeda. Tapi mengapa demikian menonjolnya sentimen SARA, dan membawa kemenangan bagi Anies-Sandi?

Dan jika Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak terpeleset bicara soal Surat Almaida, apakah mungkin ada keberuntungan bagi pihak Anies-Sandi? Atau, jika Ahok bukan Cina, apakah juga perseteruan yang muncul akan sesengit itu?

Mengandalkan isu SARA, memang masih sangat ampuh di setiap Pilkada. Hal ini juga menunjukkan, bahwa masyarakat masih mudah tersulut dan diprovokasi soal suku dan agama, apalagi soal etnis.

Dalam keadaan demikian, maka yang dibakar atau dipengaruhi adalah soal emosional masyarakat. Bukan soal rasional, yang harusnya justru dibutuhkan dalam mengedukasi masyarakat, untuk bersama-sama mencapai impian Jakarta.

Yang lebih dahsyat lagi, beberapa aksi demo yang digerakkan oleh FPI (Front Pembela Islam), terbukti mampu membakar emosi masyarakat kalangan Islam. Sehingga pemicu sentimen agama, makin berkobar di bumi Jakarta.

Tentu, fenomena ini sangat jauh dari sekedar syarat-syarat seseorang menjadi Gubernur, yang biasanya tidak pernah memandang agamanya apa, dan sukunya suku apa. Tentu, sangat jauh juga dari peran mesin politik parpol pendukung, yang sering mengandalkan basis massanya.

Tontonan perseteruan soal menistakan agama oleh Ahok juga semakin jauh dari adu program calon Gubernur, yang mestinya menjadi menu utama dalam setiap Pilkada. Semakin jauh lagi, ketika sentimen etnis ini mematahkan soal apa yang sudah dinikmati para penduduk Jakarta, dari program yang sudah terbukti dikerjakan para petahana.

Padahal sesungguhnya, jika sebagian besar masyarakat sudah membuktikan hasil yang pernah diwujudkan dari janji-janji program sebelumnya, maka kecenderungannya adalah, akan menaruh hati atau simpati kepada Gubernur yang kembali mencalonkan diri. Tapi sekali lagi, ternyata belum tentu berbanding lurus sedemikian rupa.

Emosional masyarakat yang dipantik lewat kebencian terhadap ‘cap penista agama’ yang sebenarnya tidak pernah bermaksud menistakan agama itu, justru sangat ampuh mematahkan apa yang sudah dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. Psikologis masyarakat dengan amarah itu tadi, ternyata berhasil mengingkari apa yang sudah dimakannya sendiri, tanpa memikirkan lagi, apakah mereka masih akan menikmati apa yang sudah ditelannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun