Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPU-Bawaslu Minus Muhammadiyah

2 Maret 2022   14:00 Diperbarui: 2 Maret 2022   14:13 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbarengan dengan Paripurna DPR untuk menetapkan Anggota KPU dan Bawaslu RI terpilih periode 2022-2027 (18/2) beredar sebuah flyer di grup-grup percakapan whatsapp, termasuk grup yang saya ikuti. "HMI Juara" demikian, judul besar flyer itu. Di bawahnya terdapat daftar nama kandidat terpilih Komisioner KPU dan Bawaslu RI Periode 2022-2027. Lalu di sebelahnya ada rekapitulasi sebagai berikut : HMI 5, NU 3, GMNI 2, Non Muslim 2, Muhammadiyah 0.

Siapapun yang mengikuti perkembangan politik elektoral tanah air belakangan ini, pasti tahu maksud dari konten flyer tersebut, yakni kaitan antara judul dan rekaptulasi nama-nama ormas kemahasiswaan di bawahnya. Isi flyer ini tidak lain memang menggambarkan komposisi keanggotaan Komisioner KPU dan Bawaslu RI periode 2022-2027 berdasarkan muasal organisasi kemahasiswaan/kepemudaan para kandidat.

Meski penggunaan pilihan istilahnnya kurang tepat karena tidak cukup "appeal to appeal", satu hal benar adanya bahwa diantara deretan nama kandidat terpilih itu memang tidak ada satupun yang berasal dari kader Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), IMM maupun Pemuda Muhammadiyah. Dengan demikian, untuk periode elektoral 2022-2027, penyelenggara Pemilu di tingkat nasional minus keterlibatan dan peran Muhammadiyah.

Masalahkah ? Tergantung. Tergantung dari sudut mana dan bagaimana melihatnya. Bagi Muhammadiyah sendiri, saya yakin tidak ada persoalan. Biasa-biasa saja. Muhammadiyah sudah terlalu biasa diabaikan dan ditinggalkan dalam gerak dinamis perjalanan panjang kapal besar bernama Indonesia. Namun ini tidak pernah membuat Muhammadiyah uring-uringan, merajuk-rajuk lalu fatalis. Atau sebaliknya, menjilati pantat kekuasaan, ngemis-ngemis : Bismillah, Komisaris.

Muhammadiyah tetap istiqomah, konsisten berkontribusi untuk negara bangsa melalui jalan yang mereka ciptakan dan kembangkan sendiri, tanpa harus bergantung, termasuk pada kekuasaan.

Muhammadiyah telah menciptakan sendiri jalan dan arena pengabdian kebangsaan yang sangat luas : pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial budaya, bahkan juga dimensi politik dengan pendekatan high politics yang steril dari syahwat berkuasa. Semata hanya untuk memastikan kepolitikan negara bangsa berjalan diatas track yang benar sesuai kaidah-kaidah ideologi, konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi yang telah disepakati. High politics adalah pendekatan politik adiluhung berbasis amar makruf dan nahyi munkar, salah satu ciri khas Muhammadiyah.

Politik keseimbangan

Lantas dari sisi mana atau dengan cara pikir bagaimana bisa menjadi masalah ? Pertama, Indonesia ini terlalu besar; dan tantangan problematikanya sangat komplek untuk dihadapi dan diurus oleh hanya satu-dua kelompok. Termasuk dalam kerangka besar hajat elektoral. Dalam konteks ini politik keseimbangan representatif menjadi penting untuk selalu dipertimbangkan.

Pemilu itu hajat besar negara-bangsa. Pelibatan elemen-elemen besar dan strategis dalam perhelatan ini akan sangat berguna untuk menjaga keseimbangan arah kebijakan politik elektoral dan langkah-langkah implementasi praksisnya. Pun juga sangat penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan Pemilu sekaligus menjaga berbagai potensi penolakan terhadap hasil Pemilu di ujung perhelatannya nanti.  

Jadi, masalah pertama ketidakhadiran unsur Muhammadiyah di tubuh penyelenggara Pemilu (KPU DAN Bawaslu) itu jelas merefleksikan minusnya kesadaran dan nir-ikhtiar dari para pemangku kepentingan (khususnya Timsel dan DPR, serta tentu saja partai-partai politik di parlemen) perihal pentingnya menjaga dan merawat keseimbangan sebagai konsekuensi dan keniscayaan sejarah negara bangsa yang majemuk.

Dari media memang terbaca kabar, bahwa lobi-lobi di internal parlemen sebagai ikhtiar menghadirkan keseimbangan itu dilakukan. Namun lobi yang dilakukan ini jauh dari kategori bertenaga karena dilakukan hanya dengan kekuatan personal, bukan institusional (partai politik terutama). Jadi teringat ungkapan Buya Syafi'i Ma'arif, di pentas kekuasaan praktis, Muhammadiyah memang yatim-piatu.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun