"Siapa pun yang mendengar ceritanya pasti merasa miris. Kasihan, dan lalu menyumbang tanpa diminta."Â
Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan, Mbah X, tetangga Mamak yang hampir selalu datang ketika kakak-kakakku yang dianggap mapan, tengah bertandang ke rumah orangtua kami.
Baru kusadari setelah berumah tangga. Ketika rasa rindu untuk bercengkerama dengan saudara-saudara kandung hampir menemukan momennya, tapi kesempatan itu dirusak oleh kehadiran Mbah X.
Sebelumnya kami selalu bersimpati pada kisah sedihnya. Kakakku yang tak ada hubungan darah setitik pun dengan Mbah X, biasanya dengan mudah menyalami beliau sambil menyisip satu dua lembar lima puluh sampai seratus ribuan ke tangannya. Hampir selalu begitu, entah hingga kapan.
Lalu lembar itu menjadi candu. Setiap mendengar suara kakakku, atau melihat mobilnya terparkir di depan rumah, Mbah X dengan atau tanpa alasan apa pun, turut meramaikan rumah kami. Ia kemudian akan bercerita tentang anak-anaknya.
Anaknya yang sudah menikah dan tinggal jauh di kota lain, jarang datang apalagi mengirimi. Anak bujangnya yang bekerja sebagai tukang ojek, juga jarang memberi, padahal pakaian sehari-harinya dicucikan oleh simbah.Â
Belum lagi Mbah ini sering berjalan kaki untuk mengantar kue titipan, sementara anaknya tak mau memberi boncengan. Siapa pun yang mendengar ceritanya pasti merasa miris. Kasihan, dan lalu menyumbang tanpa diminta.
Tapi aku yang pembosan kemudian menemukan kejanggalan. Cerita Mbah X tak pernah berubah. Padahal ia menceritakan orang yang sama, kenapa dengan kisah yang persis sama pula? Bukankah waktu berjalan? Kok itu lagi itu lagi.Â
Alhasil adegan sumbang menyumbang pun terus terjadi. Jangan kira aku kemudian memutus budaya itu. Sama sekali enggak. Entah salah entah benar, biarlah dia mendapat rezeki dari cara itu.
Kemudian, seorang kenalan membagi kisah sedihnya hidup bersama suami durjana. Membuatku sempat lupa pada Mbah X. Anggaplah namanya Mbak Y. Konon, suaminya jarang memberi uang belanja.Â