Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Kerasnya" SD (Negeri) Tahun 90-an, Apakah Kita Mengalami Hal yang Sama?

25 November 2019   13:15 Diperbarui: 26 November 2019   07:17 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Siswa menyeberangi sungai untuk kembali ke rumah setelah masuk sekolah pada hari pertama di Desa Jragung, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (15/7/2013)(KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Aku masuk SD tepat tahun 1990. Waktu itu umurku belum 7 tahun, tapi karena tangan kanan sudah bisa menyentuh telinga kiri melewati kepala, jadi aku dinyatakan 'lulus' menjadi siswa SD.

Kalau saja dulu itu aku ditanya (seperti yang dilakukan orang-orang tua sekarang pada anak mereka), "Kamu mau sekolah?" Pasti kujawab, "Idak mau!"

Sebab cerita yang beredar di sekitarku tentang sekolah, adalah dipukul karena tidak mengerjakan PR. Dihukum hormat bendera karena sepatunya berwarna, dijitak karena tidak bisa menjawab pertanyaan, dan kekerasan lain yang tidak kudapatkan di rumah.

Bukan sombong, meski lahir dari keluarga menengah ke bawah, dengan orangtua yang tidak berpendidikan, tapi aku jarang mendapat perlakuan kasar di rumah. Apalagi sampai dipukuli. Kalau diomeli, sering. Bahkan sampai sekarang. 

Dan cerita itu, ternyata bukan rumor. Enam tahun menjadi siswa SD, melihat teman dipukul, dijitak, ditampar, bahkan dimaki-maki memakai nama bapaknya, adalah hal lumrah. Aku sendiri Alhamdulillah nyaris tidak mendapatkannya. Kenapa? Karena nilai sekolahku tergolong baik.

Jadi ketika anak sulungku bertanya, "Kenapa ada orang yang tega membakar hutan?"

Kujawab, "Dulu, waktu mereka sekecil Kakak. Mereka membawa pulang barang orang lain ke rumah, orang tuanya nggak tanya, itu barang siapa. Waktu mereka berbuat salah di sekolah, gurunya nggak negur karena dia anak pintar."

Meski dikaburkan asap karhutla, aku bisa lihat wajah bingung anakku. "Orang pintar yang jahat itu lebih berbahaya daripada yang kurang pintar. Jadi, selain pintar, manusia itu harus baik!"

Dia manggut-manggut. Entah memang paham, atau supaya emaknya diam. Karena nasihat ini sering kuulang-ulang, bisa jadi dia bosan.

Pernah saat aku kelas 5 SD. Ada guru baru yang luar biasa pemarah. Bukan lagi memukul siswa dengan mistar, ia bahkan bisa menerbangkan benda itu ke kepala anak didiknya. Syukurnya dia guru Bahasa Indonesia.

Sejak sebelum duduk di bangku sekolah, kakakku sering membelikan majalah. Bobo, Donald, dan Ananda. Bukan majalah baru. Selain karena lebih mahal, satu majalah bisa langsung habis dibaca sebelum aku sampai rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun