Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Hijrah Harus Selalu Berarti Menikah?

5 November 2019   09:20 Diperbarui: 5 November 2019   16:52 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (Shutterstock)

Kulihat di berbagai media sosial, pembahasan tentang tren hijrah anak muda tak pernah lepas dari provokasi menikah. Nikah itu separuh agama, menikahlah agar dicukupkan Allah, dst dengan dalil yang lebih banyak disitir sesuai keinginan pemilik akun.

Mereka mengangkat kisah romantisnya Nabi saw dengan Aisyah, tentang Umar yang bersabar terhadap omelan istrinya, atau Ali dan Fatimah yang saling naksir tapi tidak ketahuan siapa pun, bahkan Iblis. Semua yang dibahas hanya yang serbaindah. Seolah nikah itu ajang senang-senang tanpa masalah. Padahal dinamika pernikahan bisa mereka pelajari dari orang tua, orang terdekat yang mungkin dianggap tak berilmu, tapi jelas berpengalaman.

Dan jadilah, mengaji baru dua bulan, semangat nikahnya sudah di ubun-ubun. Ada yang beramal tanpa ilmu, ada yang berilmu tapi minim adab.

Menikah, realistis saja, butuh materi. Tapi materi yang dimaksud tak harus melimpah. Tidak sedikit yang membahas rezeki pernikahan sebatas angan-angan. Semangat menikah muda, setelah menikah malah jadi beban orang tua.

Menikah butuh ilmu. Ini yang paling utama. Menikah hanya karena provokasi quotes dan foto-foto pasangan alay hanya akan menghasilkan pasangan penuntut. Yang satu menuntut lainnya sesuai dengan ekspektasinya sebelum menikah. Yang laki-laki mengira semua perempuan yang sudah hijrah itu lembut, kalem, sabar, keibuan, jago masak.

Yang perempuan mengira laki-laki yang sudah mengaji itu romantis, pengertian, sabar, penyayang, rajin, lembut. Jadilah mereka pasangan pengkhayal. Tidak realistis. Syukur kalau keduanya kemudian menyadari kekeliruan kemudian sama-sama belajar. Nyatanya tidak sedikit yang akhirnya kandas, bukan di tengah jalan, tapi saat baru saja melampaui garis start.

Kasus lainnya, mirip dengan kisah Layangan Putus, mereka yang mengaku hijrah kemudian "dapat hidayah" untuk menambah amal. Dari sekian banyak sunah Nabi yang belum terlaksana, mereka pilih poligami. Sungguh, ini adalah pelecehan terhadap syariat.

Kata Ustaz Khalid Basalamah dalam salah satu ceramah beliau, "Poligami itu ibarat buka cabang. Kalau satu saja belum sukses, kenapa buka yang baru?"

Begitu pula ketika Ustaz Adi Hidayat ditanya tentang poligami. Beliau menjawab, "Kalau satu amanah saja saya belum sempurna melaksanakannya, bagaimana saya bisa menambah amanah lagi?"

Iya, mereka manusia biasa. Suatu saat bisa berubah. Dua kalimat di atas bukan dalil. Kupakai semata-mata untuk pembaca mudah mencari mereka, bertanya, dsb. Kalau diberi judul kitab belum tentu dicari barangnya. Dikasih dalil belum tentu dicari sanad, asbabun nuzul, dll. Ya kan?

Jangan lagi pakai dalil untuk melegitimasi syahwat. Annisa ayat ketiga itu konteksnya membatasi, bukan disuruh nambah. Adakah kitab lain yang membatasi umatnya berapa perempuan yang boleh dinikahi? Coba baca sejarah, tidak ada raja yang hanya menikahi satu perempuan. Di seluruh dunia, raja-raja mengoleksi perempuan untuk dijadikan ratu, selir, dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun