Mohon tunggu...
Qory Dellasera
Qory Dellasera Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis adalah bekerja untuk keabadian -PAT-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

R.A Kartini: Sebuah Pemikiran, Pertentangan, dan Perlawanan

22 April 2013   17:05 Diperbarui: 20 April 2019   21:14 10531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartini, Ibu Kita Kartini adalah salah seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia.  Ia adalah tokoh emansipasi perempuan di Indonesia. Kartini, semasa hidupnya dipenuhi pemikiran-pemikiran untuk mengangkat derajat kaum perempuan khususnya perempuan Jawa dalam hal kesetaraan memperoleh pendidikan dan menyingkirkan budaya yang mengekang perempuan agar bisa berkembang sebagaimana layaknya hak-hak yang didapat oleh lelaki pada masanya.


Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April yang adalah merupakan hari kelahirannya,  oleh Presiden Soekarno dengan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Tetapi, apa yang sebenarnya dilakukan oleh Kartini sehingga dianggap sebagai tokoh emansipasi perempuan? Mari kita intip sejarah seorang Kartini.


Raden Ajeng Kartini, dilahirkan di keluarga ningrat, pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, sebuah desa yang terletak beberapa kilometer dari Jepara, Jawa Tengah. Kartini adalah anak ke lima sekaligus anak perempuan tertua dari sebelas bersaudara dari kedua istri ayahnya. Ayahnya bernama RMAA Sosroningrat dan ibunya bernama MA Ngasirah yang merupakan istri pertama.


Ayahnya adalah bupati Jepara waktu itu dan Ibunya adalah anak dari Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Sebelum menjadi bupati, ayah Kartini adalah seorang pimpinan wilayah administrasi di atas kecamatan, tetapi tidak mempunyai suara dalam pengambilan kebijakan di wilayahnya. Untuk diangkat menjadi bupati, ayah Kartini menikahi R.A Woerdjan yang merupakan putri keturunan langsung raja Madura yaitu RAA Tjitrowikromo.


Ibu kandung Kartini sendiri bukanlah seorang bangsawan tinggi walaupun mempunyai pertalian darah dengan Hamengkubuwana VI dari garis keturunan ayahnya, dan aturan yang berlaku pada waktu itu bahwa untuk menjadi seorang Bupati, haruslah mempunyai istri keturunan bangsawan asli. Jadi yang tercatat pada waktu itu, istri utama ayah Kartini adalah RAA Woerdjan, bukan MA Ngasirah. Dengan demikian, maka diangkatlah ayah Kartini menjadi bupati Jepara menggantikan mertuanya sendiri. 


Pada tahun 1881 Kartini dan keluarga besarnya pindah ke Jepara karena jabatan ayahnya. Sejak kecil, Kartini sudah menunjukkan kepintaran dan kelincahannya sehingga dijuluki si Trinil (burung kecil yang gesit dan lincah). Kartini kecil sangat serba ingin tahu segalanya.


Oleh karena itu, perhatian keluarga kepada Kartini jauh lebih besar terhadap perkembangan jiwanya. Kartini kemudian disekolahkan EUROPESE LAGERE SCHOOL (ELS), sekolah Belanda yang hanya mampu dienyam oleh keturunan ningrat pada waktu itu.


Kartini kecil sangat bergembira dengan lingkungan barunya. Karena kepintarannya, Kartini disenangi oleh banyak teman dan mampu menandingi kepintaran anak-anak Belanda bahkan sangat fasih berbahasa Belanda.


Menginjak usia 12 tahun selepas menamatkan sekolahnya di ELS, Kartini muda berkeinginan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi yaitu sekolah guru. Namun sayang, keinginan itu terhalang oleh tradisi yang berlaku.


Orang tua Kartini merupakan orang jawa dan sudah menjadi hakekat orang jawa yaitu memegang tinggi adat istiadat maka dari itu kartini yang seorang perempuan tidak di sekolahkan tinggi-tinggi.  Sekolah Rakyat saja sudah merupakan sebuah prestasi besar perempuan pada waktu itu.


Pada usia itu, Kartini sudah harus dipingit. Demi kepatuhan kepada tradisi ia harus berpisah pada dunia luar dan dunia pendidikan dan terkurung di rumah, sementara kaum laki-laki bebas melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.


Namun, begitu, Kartini muda tidaklah berputus asa. Kartini kemudian memperluas pengetahuannya tanpa sekolah, maka satu-satunya jalan untuk menghabiskan waktu adalah dengan tekun membaca apa saja yang di dapat dari kakak dan juga dari ayahnya.


Akhirnya Kartini menjadi seorang kutu buku, tiada hari tanpa membaca. Kartini muda lalu mengumpulkan buku-buku untuk bacaannya yang berbahasa Belanda disaat waktu renggang. Kartini juga senang membaca koran untuk mengetahui dan mengamati perkembangan sosial, baik di daerah maupun di Belanda.


De Locomotif adalah surat kabar yang paling sering ia baca. Bagi Kartini, buku adalah teman dan membaca adalah sekolah. Sehingga pengetahuan dan daya pikir Kartini menjadi luas dengan caranya sendiri. Ia juga berlangganan paket majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie


Lewat buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, Kartini  kemudian tertarik pada kemajuan berpikir perempuan-perempuan Belanda. Ia lalu berkeinginan memajukan perempuan Indonesia yang masih terkungkung oleh adat istiadat yang sangat merugikan perempuan.


Dimulai dari ketidaksetujuannya terhadap pendidikan yang sangat diskriminatif terhadap perempuan yang juga dialaminya sendiri, ia kemudian sadar bahwa teman-temannya di luar sana tidak akan punya kesempatan bersekolah lebih tinggi.


Maka ia lalu mengumpulkan teman-temannya untuk bersama-sama belajar menulis dan ilmu pengetahuan lainnya.  Kartini kemudian mendirikan sekolah sekolah pertama gadis-gadis priyayi Bumi Putera yang terletak di serambi belakang pendopo Kabupaten. Aktivitas membaca tidak ditinggalkannya. Namun kemudian bertambah lagi satu kegiatannya yaitu berkorespondensi. Ia mulai menulis surat kepada teman-temannya di Belanda.  


Beberapa teman-teman korespondensinya adalah  Ny Ovink Soer,  Q Nellie Van Kol (Ny. Van Kol) Stella seorang penulis dan anggota militan pergerakan feminis di negeri Belanda saat itu. Q J.H. Abendanon dan istrinya ditugaskan oleh Belanda sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan pada waktu itu.


Paling banyak ia bersurat kepada Stella, menceritakan tentang poligami dan kawin paksa yang sangat ditentangnya, karena bercermin pada apa yang dialami nya, atau juga tentang tradisi Jawa lainnya yang merendahkan perempuan. Kepada Stella ia juga bercerita tentang keinginannya yang sangat kuat untuk memerdekakan dirinya dan kaumnya dari kebodohan dan kungkungan adat.


“Aku sungguh ingin mengenal seorang yang kukagumi, perempuan yang modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen, bekerja tidak hanya untuk kepuasan dirinya namun juga memberikan dirinya untuk masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesamanya”( 25 Mei 1899.)


“Bisakah kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudian harus diakuinya sebagai istri sah suaminya? Sebagai sainganya? Jika demikian suami itu bisa “membunuh” istrinya, berlaku semena-mena sesuka hati ; meski sang istri mengiba, menangis sampai mengering air matanya mustahil rasanya sang suami memberikan kebebasan padanya! Semuanya untuk keberpihakan laki-laki dan tak ada satupun yang tersisa untuk perempuan itulah hukum dan kaidah hukum disini.” (6 November 1899).


Aku ingin dan aku harus berperang untuk kemerdekaanku. Bagaimana aku bisa meraih kemenangan jika aku tidak berjuang? Bagaimana aku akan menemukannya jika aku tidak berusaha mencari? Tanpa perjuangan tidak akan ada kemenangan; aku harus berjuang Stella, aku hendak menggapai kemerdekaanku. ( 23 Agustus 1900)


Kepada nyonya Ovink Soer, Kartini mengungkapkan keinginannya yang sangat besar untuk dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan cita-citanya agar perempuan mempunyai kesempatan bersekolah setara dengan kesempatan yang diberikan oleh kaum laki-laki. 


"Aku mau meneruskan pendidikan ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah aku pilih [kepada Ny Ovinksoer, 1990)


Kepada Ny Abbendanon ia mengkritik tentang Pemerintah Belanda yang penjajahan yang terjadi di Indonesia, bahwa kepintaran orang-orang Eropa tidak ditularkan kepada orang-orang Indonesia. Bahkan Kartini menganggap bahwa pemerintahan Belanda sengaja membiarkan orang-orang Jawa tetap bodoh sehingga mudah untuk dijajah terus-terusan. 


“Aristokrat Jawa selalu membungkuk pada pemerintah, termasuk yang ada di Negeri Belanda...” atau “Kaum aristokrat itu ingin menguasai dunia bagi diri mereka sendiri” (13 Januari 1900)


Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (10 Juni 1902)


“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna. Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang baik dan indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban (27 Oktober 1902)


Pada tanggal 12 November 1903 atas desakan ibunya RA Kartini melangsungkan pernikannya dengan Bupati Rembang Adipati Djojodiningrat yang sudah memiliki tiga istri. Setelah menikah, Kartini kemudian pindah ke Rembang. Suaminya mengerti keinginan Kartini oleh karenanya ia diberi kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kantor kabupaten Rembang. Berkat perjuangannya, Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. 


Anak pertama Kartini, lahir pada tanggal 13 September 1904 yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun akibat pendarahan. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan BuluRembang.


Sepeninggal Kartini, Mr. J.H. Abendanon menyatukan riwayat korespondensi R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa dalam sebuah buku yang diberi judul Door Duisternis tot Licht "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada tahun 1911 dan diterjemahkan oleh Empat Saudara dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922 yan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang yang ditulis oleh Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru


Semasa hidupnya, pemikiran-pemikiran Kartini memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perubahan di negeri ini. Ia berjuang dengan metodenya sendiri, agar bisa mewujudkan cita-cita besarnya, yaitu mengangkat perempuan dari penindasan budaya.


Ia menganggap bahwa budaya sangat-sangat tidak berpihak pada perempuan, mulai dai kesempatan memperoleh pendidikan hingga poligami. Sudah sangat cukup berani untuk perempuan yang terlahir pada masanya walaupun diuntungkan dengan darah ningratnya, tetap ia juga berjuang sendiri dengan menulis dan mendirikan sekolah-sekolah perempuan.


Lalu, apa yang dapat kita petik dari perjuangan Kartini?  Pertama, bahwa pemikiran-pemikiran Kartini dan pertentangannya dengan kondisi sosial pada waktu itu. Ia menentang budaya Jawa yang dianggapnya sangat merugikan kaum perempuan Jawa pada khususnya. Emansipasi atau kesetaraan adalah hal yang menjadi pemikiran besarnya.


Ia sangat menginginkan perempuan memiliki kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih luas. Hal ini ia buktikan dengan mendirikan sekolah perempuan. Ia adalah perempuan pendobrak feodalisme dan patriarki.


Di saat perempuan lain “nrimo” akan nasibnya, Kartini justru mendobraknya dengan memajukan dirinya dan memajukan sekitarnya Ia juga mengkritik tradisi perkawinan Jawa yang memperbolehkan poligami. Meskipun ia akhirnya menjadi istri ke empat dari seorang bupati Rembang, tetap beberapa traadisi yang dianggapnya meremehkan perempuan tidak dilakukannya. Semisal tradisi cium kaki pada saat menikah, ia buktikan dengan tidak mencium kaki suaminya pada saat ia menikah.


Kedua, Kartini juga menentang Kolonialisme. Ia sangat tidak sepakat dengan pemujaan-pemujaan kaum pribumi terhadap Belanda. Awalnya, Kartini menyukai Belanda dan berteman dengan beberapa, tetapi lambat laun Kartini sadar bahwa apa yang dilakukan orang-orang Belanda terhadap pribumi tidak lebih dari proses pembodohan yang terus menerus dipertahankan.


Terhadap suratnya kepadanya Abendanon disitu ia mengkritik bahwa penghambaan pribumi kepada Belanda adalah kamuflase agar pribumi menganggap Belanda itu baik, padahal dengan maksud menguasai pribumi agar mau tunduk terhadap Belanda dan melakukan apa saja yang disuruh Belanda.


Ketiga, pemikiran-pemikiran Kartini adalah semangat perlawanan. Pada masanya, memang sangat susah mewujudkannya karena terhalang oleh tembok budaya yang sangat kokoh.


Akan tetapi, ia tidak menyerah, dengan semangat itu, ia berhasil membujuk suaminya untuk mendirikan sekolah di lingkungan kabupaten yang menjadi titik awal dimulainya kesetaraan memperoleh pendidikan bagi perempuan di lingkungan sekitarnya. 


Jika dikaitkan dengan konteks saat ini, yang sudah sedemikian maju dan lebih demokratis..apakah tidak akan menjadi sebuah kemungkinan besar bagi kita kaum perempuan untuk juga berjuang, melanjutkan perlawanan feodalisme dalam wujud patriarki hingga perlawanan terhadap  kolonialisme gaya baru yaitu neoliberalisme. Kartini sudah memulainya untuk kita....maka mari kita lanjutkan.


Opini ini juga diterbitkan online di sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun