Mohon tunggu...
Rizky Kusumo
Rizky Kusumo Mohon Tunggu... -

Menulis adalah mencurahkan apa yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata (Follow My Twiiter @Rizky_Kusumo7)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mahasiswa Menggugat: Di Antara Ketidakjelasan Dosen-dosen Kampus

13 April 2012   01:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:41 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekacauan terjadi pada sistem kepegawaian di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Kementerian Perindustrian. Padahal kampus ini mengajarkan kepada mahasiswanya tentang bagaimana mengatur suatu organisasi dan semua elemen yang ada didalamnya, supaya menjadi baik dan tidak kacau demi tercapainya suatu tujuan. Namun sayang sekali pelaksanaan dan aplikasi ilmu manajemen tidak berlaku. Sehingga tidak dapat kita elakan lagi, permasalahan di kampus merah ini terus saja bertambah parah.

Banyak permasalahan yang perlu dibenahi, katakanlah, sulitnya pengelolaaan ruang kuliah, sulitnya pengaturan jam pengganti, dan banyaknya dosen yang lebih banyak rapat dibandingkan mengajar, menjadi rutinitas sistem pengajaran di kampus merah ini. hal yang perlu mendapat perhatian khusus tentulah masalah dosen, sebagai salah satu komponen dalam sistem pengajaran, Banyaknya dosen yang melakukan safari ke beberapa intansi, katakanlah, Departemen Komunikasi, Pelatihan Pusdiklat, dan Kementrian Perindustrian, tentulah tidak etis. Walaupun, para dosen tersebut membawa nama kampus dengan alasan ‘’mendapat undangan’’, tetapi apakah dibenarkan, meninggalkan para mahasiswanya yang membayar mereka untuk mengajar?.

Kegiatan safari ini biasanya dilakukan oleh para dosen yang merangkap jabatan, katakanlah, Direktur, para Pudir dari I, II, hingga III, para Kajur-Kajur dan bawahannya, yang tentunya merugikan mahasiswa. salah satu efeknya, para mahasiswa harus mencari jam pengganti akibat tindakan para dosen yang melakukan safari tersebut. hal ini membuat para mahasiswa sepertinya “menanggung dosa’’ yang dilakukan para dosen, karena mereka diharuskan mengorbankan waktu yang sebenarnya merupakan waktu refreshing dari jam perkuliahan, untuk mengganti jam yang kosong akibat kegiatan para dosen tersebut. para dosen rangkap jabatan ini, sering menganggap sikap dualisme tersebut tidak masalah karena minimnya jumlah dosen di APP, sehingga mereka harus ‘’menambal’’ dengan berperan sebagai dosen. Namun bila seperti itu alasannya, bukannya lebih baik jika pihak kampus menambah jumlah dosen? Sehingga tidak ada mahasiswa yang dirugikan akibat kegiatan para dosen dualisme tersebut.

Para Dosen generasi Tahun 65

Selain dosen yang rangkap jabatan, ada pula dosen-dosen APP (Akademi Pimpinan Perusahaan) yang sebenarnya sudah memasuki masa pensiun dan sudah tidak layak untuk mengajar ternyata masih bercokol dan dipertahankan di APP. Jangan karena dia dosen senior (sudah lama) jadi pihak akademik ragu untuk merumahkannya, yang ada mantan PNS itu menjadi penghambat dalam proses mencetak kader penerus bangsa yang berkualitas. Para dosen-dosen yang bisa disebut sebagai ‘’dosen dari generasi tahun 65’’ ini memang memiliki pengalaman, karena sudah sejak lama berkecimpung di dunia pengajaran. Tetapi, apakah pengalaman para dosen generasi 65 ini masih cocok untuk diajarkan kepada para mahasiswa? padahal mahasiswa dari generasi baru ini butuh penyegaran dalam ilmu pengetahuan apalagi dalam arus globalisasi saat ini.

bisa kita lihat dalam pelajaran ilmu ekonomi di kampus ini,  masih menggunakan prinsip-prinsip Adam Smith, Jhon Maynard Kynes ,dll (sistem Kapitalismenya) yang menjunjung teori keseimbangan pasar (equilibrium teory), padahal teori ini dianggap sudah tidak cocok dengan realitas keadaan pasar dunia saat ini. Pengajaran teori ekonomi kapitalisme yang biasanya masih dipakai oleh para dosen ekonomi dari generasi 65 seharusnya sudah dihapus. Apalagi dengan hancurnya perekonomian negara-negara pemuja kapitalisme seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, sekarang hampir semua negara tersebut melakukan pembaruan dalam sistem ekonominya. Tentulah menjadi pertanyaan, jika para dosen ilmu ekonomi di kampus APP masih mengajarkanya, padahal teori ini sudah dibuang oleh pemujanya? Apakah dosen-dosen yang berasal dari generasi 65 ini masih terhanyut dengan pemujaan teori kapitalisme sehingga tidak memperbarui pangajarannya?. Jika begitu, para dosen sama saja memberikan teori ‘’Kadaluarsa’’ kepada mahasiswanya yang tidak akan bisa digunakan dalam realita ekonomi saat ini.

para dosen generasi 65 ini, katakanlah, Zulkarnaen, Madda, Bambang U.P, dan masih banyak lagi, Memang sah-sah saja jika masih ingin mengajar, namun kebanyakan dari dosen-dosen tersebut jarang memberikan pangajaran secara aplikatif tetapi hanya secara teks book. Padahal sebagai kampus diploma, para mahasiswa bukanya dipersiapkan untuk menjadi ‘’yang ahli dalam teori’’, tetapi untuk menjadi ‘’yang siap berkerja’’ setelah lulus nanti. Apalagi para dosen tersebut terlihat sudah ‘’ngawur’’ dalam mengajar, kebanyakan mereka malah bercerita tentang biografinya dan keluarganya dibandingkan teori-teori manajemen, Hal seperti ini yang membuat mahasiswa menjadi bermalas-malasan di dalam kelas.

Buruknya lagi, ada beberapa dosen yang sudah ‘’tidak nyambung’’ disaat sesi tanya jawab, katakanlah, Zulkarnaen yang jika ditanya oleh mahasiswanya harus diulang-ulang layaknya ‘’orang yang pendengarannya kurang’’ atau Bambang U.P yang disaat menjawab malah menjurus kepada kata-kata yang melecehkan. Perilaku ini seperti mematikan sikap sejati para mahasiswa yang kritis dan analisis, karena mana mungkin bersikap seperti itu dengan realita dosen seperti ini. Pihak akademik seharusnya sedikit demi sedikit mengurangi dosen generasi 65 ini dan menggantinya dengan dosen yang lebih muda. Jika, masih tetap mempertahankan para dosen tersebut, lama kelamaan kampus APP akan dinilai sebagai ‘’kampus usang’’ layaknya gedung-gedung tua disekeliling kota tua. Apakah para masyarakat kampus APP rela dijuluki seperti tersebut hanya karena masih adanya dosen generasi 65 tersebut?

Kritik yang membangun

Permasalahan dosen ini nampaknya terus kabur, tanpa adanya penyelesaiaannya. Bahkan sekarang muncul trend di kampus yaitu menjamurnya asisten dosen. Para asisten dosen tersebut diperkerjakan untuk melapis dosen-dosen yang mempunyai jumlah waktu mengajar banyak. Tentulah menjadi pertanyaan, apakah asisten dosen tersebut mempunyai kualitas yang sama dengan dosen sebenarnya? Jika memang sama, apa tidak sebaiknya asisten dosen tersebut dinaikkan pangkatnya menjadi dosen?.

Tentulah sistem pengajaran di kampus APP masih banyak permasalahan, apalagi cara mengajar dosen yang harus banyak dikritisi. Para dosen seharusnya mau dikritik tentang cara pengajaranya dan penilaiaannya karena mereka seperti manusia lainya yang bisa saja salah. Seperti kata Soe-Hok-Gie ‘’Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah, Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau’’. Sebuah kritik oto kritik seharusnya dibangun antara mahasiswa dan para dosen untuk membangun sistem pengajaran yang lebih baik di kampus. Pihak akademik pun harus terus melakukan evaluasi tentang dosen yang rangkap jabatan, masih mampukah mereka fokus mengajar dengan banyaknya ‘’undangan’’ yang menghampirinya. Hal yang lebih penting, program regenerasi dosen harus dimulai dari sekarang sebelum Kampus APP mendapat slogan ‘’kampus usang’’.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun