Mohon tunggu...
Farid Muhammad
Farid Muhammad Mohon Tunggu... penikmat kopi dan buku -

read, share, happy...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Banda Genosida

9 Mei 2017   08:08 Diperbarui: 9 Mei 2017   08:36 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kejayaan VOC tidak akan bertahan 350 tahun lamanya tanpa melewati episode horor ini. Batavia tidak akan terbangun megah tanpa penggalan kisah hari ini.

“Dispereert niet, onziet uw vijanden niet, want god is met ons”, bisa jadi adalah moto hidup paling bengis sepanjang sejarah kemanusiaan, jauh sebelum Her Fuhrer Hitler bangkit dan memporak-pondakan Eropa, atau Pol Pot yang bersuka-cita di atas ladang pembantaian warga sipil Kamboja.

Adalah Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) seorang pegawai karir pada kantor administrasi VOC untuk kawasan Hindia Belanda tahun 1609. Coen mengawali karirnya sebagai juru tulis atasannya Pieter Verhoeven di Banda Naira. Dia seorang yang cakap, disiplin, sekaligus berani menjalankan tugas-tugas VOC. Coen menguasai berbagai macam bahasa di usia yang masih sangat muda. Tidak heran jika ia selalu menjadi negosiator andalan dalam urusan dagang, dan sekaligus pembuat laporan dagang yang sangat detail. Sebagai juru tulis, Coen tergolong berani untuk terlibat dalam situasi-situasi genting, seperti dalam satu kejadian fenomenal saat negosiasi dagang antara Laksamana Verhoeven dengan pribumi Banda Naira berjalan buntu sehingga berakhir chaos. Saat itu, Coen adalah saksi hidup terbunuhnya pimpinannya itu bersama 40 serdadu VOC lainnya, diserang warga Banda Naira di sebuah hutan kecil di kawasan yang saat ini dikenal dengan kampong “verhopen”. Berita yang sangat memukul moral penjajah itu tersebar hampir di seluruh kota-kota pelabuhan koloni VOC, mulai Tuban, Gresik, Palembang, Teluk Benggala, Malaka, Kalkuta (India), dan Kolombo (Srilanka). 

Coen sudah tentu akan menyimpan dalam-dalam peristiwa traumatik itu, yang ternyata berperan dalam menggandakan ambisinya di masa depan. Ketekunan dan kedisiplinan Coen semakin memikat hati penguasa Belanda yang kemudian mempercayakan jabatan Gubernur Jendral VOC di usianya yang ke-31 tahun. Di puncak kepemimpinannya, Coen menunjukkan watak aslinya. Keputusannya memindahkan kantor dagang VOC dari Banten ke wilayah Jayakarta adalah bukti betapa besar kebenciannya terhadap Inggris dan juga warga pribumi (Banten). Dan dari kawasan baru ini, Coen membangun kokoh pertahanan militernya.

Tidak kurang satu tahun setelah menduduki Jayakarta, Coen melancarkan serangannya terhadap benteng benteng pertahanan Inggris dan Istana Jawa (Kerajaan Mataram). Kemenangan diraihnya dengan sempurna. Dan dari atas puing-puing kota Jayakarta, Coen mewujudkan mimpi besarnya yang terpendam lama. Membangun kota baru yang dinamainya “Batavieren” (Batavia).

Seakan tidak puas dengan prestasi yang baru saja diraih, Coen mengarahkan perhatiannya kembali ke Banda Naira. Jelas ia masih menyimpan dendam membara terhadap pulau-pulau penghasil rempah-rempah dunia itu. Baginya, pulau yang subur itu harus ditaklukkan dengan kekuatan militer, dan masyarakatnya yang keras kepala harus dibinasakan atau dibuang. Dengan pongahnya dia berkata; “Kegagalan demi kegagalan para pendahulu VOC di Banda Naira adalah karena mereka tidak memiliki 3 prinsip; motivasi yang kuat, efisiensi, dan kebengisan”. Coen mengusulkan prinsip-prinsip ini kepada para petinggi VOC di Belanda, dan benar-benar dia praktikkan di Banda Naira.
27 Februari 1621 armada perang Coen tiba di Benteng Nassau, Banda Naira. Ia berhasil menghimpun pasukan militernya terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal kecil, 6 perahu layar, dengan pasukan tentara sebanyak 1.665 orang eropa, ditambah 250 tentara yang telah menetap di Banda, 100 orang tentara bayaran dari pasukan ronin-samurai, dan 286 tawanan asal Jawa sebagai buruh kapal. Coen juga menyertakan 1 orang penerjemah asal Hitu-Ambon, pangeran Tipul yang bertugas sebagai negosiator. Namun peranan Tipul tidak signifikan. Coen bahkan terkesan hanya memanfaatkan Tipul tidak lebih sebatas penerjemah yang dirinya sendiri tidak menghiraukan. Coen menafsirkan kehendak rakyat Banda sesuka hatinya, sesuai seleranya sendiri.


Kapal Het Hert berlayar mengitari kepulauan Banda Besar, mengintai pesisir Lonthoir pada tanggal 4 dan 5 Maret 1621. Dan sebagaimana dugaan Coen, kapal itu akan menerima tembakan bertubi-tubi dari darat. Pasukan Coen menderita kekalahan dan mundur perlahan. Sebanyak 2 awak tewas dan 10 tentara luka-luka. Namun laporan yang masuk ke meja Coen jauh lebih penting dari korban yang jatuh. Ia mencatat lebih dari selusin titik pertahanan rakyat Banda tersebar dari pesisir pantai sampai di punggung-punggung bukit bagian selatan pulau Lonthoir. Komandan Het Hert juga memberi masukan tentang adanya latihan gabungan antara rakyat Banda dengan beberapa tentara Inggris dalam kamp-kamp militer sederhana.

Coen melancarkan serangan kedua pada 11 Maret 1621. Kali ini dia lebih strategis, menerjunkan tentaranya pada 6 titik sekaligus untuk mengelabui rakyat Banda. Dalam waktu singkat, pasukannya telah menduduki pos-pos penting di sebelah utara dekat Ortatang dan sebelah selatan dekat Lakoy. Meskipun mendapat perlawanan sengit rakyat Banda, semua menjadi percuma akibat pengkhianatan oknum warga Lakoy dan Ortatang yang menunjuk jalan ke kantong-kantong tentara rakyat hanya demi 30 real. Matahari belum terbenam, tapi seluruh wilayah Banda Besar nyaris ditaklukkan. 

Melihat situasi yang tidak menguntungkan rakyat, salah satu tokoh masyarakat (Orang Kaya/OK) bernama Kalabaka Maniasa, atau Yongheer Dirk Callenbacker, seorang peranakan belanda-banda yang fasih berbahasa Belanda mencoba berdiplomasi dengan Coen di atas kapalnya. Ditengah diplomasi, Kalabaka terlibat adu mulut dengan Jan Pieterszoon Coen. Ia dan warga Banda dituduh melanggar janji-janji perdagangan, dan berencana membunuh para pedagang Belanda. Sebaliknya Kalabaka justru menyalahkan Belanda yang terlalu kejam dan serakah. Perdebatan alot sampai membawa-bawa peristiwa kematian Verhoeven tahun 1609. Tampak jelas Coen masih memendam peristiwa kematian pimpinannya itu, dan merasa perlu untuk membalasnya kini. Diplomasi Kalabaka buntu. Ia kembali ke perkampungan dengan tangan hampa.

Beberapa hari kemudian, para OK dari masing-masing kelompok rakyat mendatangi Coen di atas kapalnya sebagai simbol menyerah total kepada VOC. Tampak tidak ada pilihan lain bagi rakyat. Mereka lalu membawa serta upeti dari hasil panen pala, sebagian membawa ceret dari tembaga, dan sebuah rantai dari emas, juga menyerahkan senjata-senjata. Banda akhirnya mengakui kekuasaan Belanda, dan berjanji memulangkan sebagian warga yang masih bersembunyi di hutan dan pegunungan, juga akan menaati semua kesepakatan dagang yang diberlakukan. Hanya saja, mereka memohon 4 syarat; menghormati hak milik mereka, keluarga, agama, dan menghargai tokoh-tokoh masyarakatnya.

Coen menerimanya penyerahan rakyat Banda dengan gembira, namun tak sedikitpun terlihat perduli dengan permintaan yang diajukan. Apa yang dilakukan Coen selanjutnya adalah bukti nyata bahwa misinya hanya untuk penaklukan dan bukan perdagangan. Setelah merasa berhasil menguasai Banda, Coen membangun sebuah benteng kokoh di puncak Lonthoir (Hollandia), dan mendirikan markas besarnya di Selamon. Coen juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontroversial, seperti mengangkat pribumi Jareng sebagai OK, dan memposisikan Jenderal T’Sionck sebagai Gubernur baru. Dua orang ini tidak disukai penduduk Banda maupun Belanda. Jareng dianggap sebagai pengkhianat pribumi. Sementara T’Sionck dikenal kalangan Belanda sebagai pemabuk, ceroboh, dan dungu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun