Mohon tunggu...
ROFIQ INDONESIA
ROFIQ INDONESIA Mohon Tunggu... -

Tidak perlu kamu menganalogikan cintaku, sungguh percuma

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Dicari Sosok ‘Negarawan’ untuk Indonesia [1]

16 April 2015   11:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dicari Sosok ‘Negarawan’ untuk Indonesia

Oleh: Listiyono Santoso

Tema kepemimpinan nasional –belakangan- ini kembali mencuat di permukaan. Bahkan tema ini cenderung kian seksis diperbincangkan terutama jelang Pemilu 2014 nanti. Hampir semua orang (di)sibuk(kan) untuk terlibat membincangkan estafet kepemimpinan nasional. Menariknya, kaum muda lah –elemen bangsa- yang selalu bergiat (dan terkadang, bernafsu) dalam membedah kepemimpinan nasional dari berbagai sudut pandang.

Mengapa demikian. Tidak lain karena idealisme anak muda yang selalu digelisahkan terhadap berbagai bentuk kepemimpinan nasional kita. Idealisme kaum muda adalah idealisme yang selalu berbalut dengan berbagai ketidakpuasan atas kondisi kebangsaan kita yang memang akhir-akhir ini selalu diliputi berbagai ketidakpastian. Dan memang hanya anak muda yang –seharusnya- berdiri netral untuk mendedahkan berbagai kerisauan. Berbagai kegetiran atas tipikal kekuasaan –yang dimana-mana- selalu steril dari keberpihakan pada kebangsaan dan kerakyatan. Karenanya, tidaklah heran jika sejak negara ini masih berwujud janin, anak mudalah yang serius memperjuangkan janin itu menjadi bayi yang bernama Indonesia.

Bukankah kita sadar betul sejak tahun 1908, melalui Budi Oetomo, nasionalisme kebangsaan kita mulai dilahirkan. Sumpah Pemuda 1928 yang kian menjadi spirit kebangsaan Indonesia, tahun 1945 tatkala Proklamasi Kemerdekaan, tahun 1965 saat kebobrokan sistem Demokrasi Terpimpin kita hingga tahun 1997 dengan meruntuhkan rezim Orde Baru. Semuanya merupakan bentuk kegelisahan anak muda terhadap situasi kebangsaan yang rapuh. Saat ini, kaum muda pun kembali dihadapkan pada situasi kebangsaan kita yang kian lama mengalami degradasi. Tidak bisa tidak membincangkan kepemimpinan nasional haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari nalar muda (kita) untuk ikut serta memberikan solusi bagi bagi problema kebangsaan kita.

###

Disadari bahwa kepemimpinan nasional selalu menarik perhatian publik. Dimana-mana orang terlampau ‘bernafsu’ untuk ikut urun rembug perihal kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional menjaid penting saat negeri ini memang membutuhkan seorang ‘superman’ yang sanggup menyelesaikan problema dasar yang membelit bangsa. Problem yang membuat bangsa ini kian tidak ramah bagi warga negaranya. Kian tidak nyaman bagi ‘rumah tinggal’ kebangsaan kita. Kian tak berpihak bagi rakyat kecil. Parahnya, kian tidak dihargai oleh negeri lain, bahan ejekan, hingga stereotype yang memperburuk pencitraan.

Padahal sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki segala-galanya untuk dikembangkan sebagai bangsa yang bermartabat. Negeri ini sesungguhnya memiliki segala potensi yang ada, dari potensi sumberdaya alam hingga sumberdaya manusia. Hampir tidak ada negara yang memiliki kekayaan potensi sebagaimana Indonesia. Potensi kekayaan laut kita berlimpah. Kekayaan hutan dan sawah kita tidak bisa dipandang sebelah mata. Kekayaan pertambangan kita –apapun jenisnya- ada di setiap sudut kepulauan. Sumberdaya manusia? Yang ini juga tidak kalah baiknya dengan negara lain. Meski dunia pendidikan di negeri ini selalu tertatih-tatih perjalanannya, tetapi ada banyak fakta menyebutkan bahwa kecerdasan mahasiswa Indonesia sesungguhnya di atas rata-rata. Hampir sebagian besar mahasiswa Indonesia yang sekolah di universitas favorit dunia, lulus dengan predikat cumlaude bahkan sampai pada peringkat terbaik. Tapi sayangnya, setelah mereka kembali ke negeri ini, intelektualitasnya ’tidak laku’. Sebab, negeri ini lebih menghargai ’politisi’ ketimbang ’akademisi’. Tidak heran jika kemudian menjaid politisi di negeri ini menjadi ’lahan’ pekerjaan baru yang lebih menggiurkan dan prospektif ketimbang menjadi ilmuwan.

Satu-satunya problem kita adalah bagaimana mengelola bangsa dan negara ini dengan baik dan benar agar segenap potensi bisa dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Bukankah kesalahan awal pengelolaan kebangsaan dan kenegaraan merupakan titik awal kehancuran masa depan bangsa ini? Semacam adagium, salah di hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir. Kesalahan membangun paradigma (kepemimpinan) akhirnya hanya akan berakibat fatal bagi masa depan bangsa. Paradigma kepemimpinan yang kita bangun lebih pada kepemimpinan politik. Artinya, nalar politik seringkali lebih dominan bekerja ketimbang nalar negarawan. Kepemimpinan politik lebih memperhitungkan kalkulasi untung rugi dalam kekuasaan politiknya. Yang penting kekuasaan ’politik’ aman dan selamat dari tekanan ’lawan’ politiknya. Tidak heran jika kepemimpinan nasional kita lebih banyak diisi oleh (konsep) bagi-bagi kue kekuasaan. Siapa (partai politik) memperoleh apa, bukan siapa berbuat apa.

Bukankah fakta ini yang sekarang bergelanyut dalam panggung politik kita? Fakta dimana kekuasaan negara lebih diletakkan untuk kepentingan kekuasaan politik partai politik. Seolah dukungan pada seorang calon presiden –di negeri- ini haruslah berimplikasi pada balas jasa ’jabatan’ bagi parpol tersebut. Yang terjadi kemudian adalah kader parpol tertentu karena sudah mendukung calon presiden terpilih, merasa berhak mendapat jatah kekuasaan dari seorang presiden. Tidak aneh jika sekarang menjelang Pemilu 2014, rebutan claim ’keberhasilan’ tiap parpol di negeri ini kiat mencuat. Parpol A merasa berhasil menekan korupsi. Parpol B meningkatkan swasembada beras. Parpol C berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan entah narsisme apa lagi yang muncul. Yang tidak pernah ada adalah parpol yang bertanggungjawab atas (fakta) kian mahalnya biaya pendidikan, kian banyak masyarakat miskin yang mengalami proses eksklusi, yakni ketertutupan mendapatkan akses yang menjadi haknya sebagai warga negara, seperti akses kesehatan, akses pendidikan, akses pekerjaan, dan sebagainya.

###

Negeri ini Butuh Pemimpin dengan Nalar Negarawan

Demikianlah, bahwa rakyat menjadi anak tiri di negeri sendiri. Selain selalu jadi korban dari kebijakan yang tidak pro rakyat, institusi yang seharus menjadi penyalur aspirasi mereka justru malah menjadi pendukung utama dari kebijakan tersebut. Lalu kepada siapa lagi rakyat harus berkeluh kesah ketika tidak ada lagi institusi yang memperjuangkan nasibnya? Persoalannya kemudian adalah mengapa bisa terjadi, parpol yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi rakyat justru malah menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan.

Jawaban sederhananya, bahwa di negeri ini ruang politik kita terlalu banyak dipenuhsesaki dengan politisi bukan negarawan. Nalar politisi sangat berbeda dengan nalar negarawan. Politisi berjuang untuk kepentingan politik kekuasaan, sedangkan nalar negarawan berjuang untuk politik kebudayaan. Artinya, politisi lebih memperhitungkan kalkulasi politik kekuasaan semata ketimbang kemaslahatan bangsanya. Seorang negarawan lebih mengepankan nasib bangsa secara lebih mendasar ketimbang berbicara pada kursi kekuasaan; entah kursi kepresidenan, kursi di kabinet, ataupun kursi-kursi kekuasaan lainnya.

Raison d’etat Politik Politis

Perbedaan mendasar antara politisi dan negarawan adalah terletak ada sikap politik dan cara mereka memperlakukan kekuasaan. Politisi biasanya lebih disibukkan ‘menyenangkan’ kehendak pribadinya ketimbang kehendak sosial. Private interest lebih dikedepankan daripada social dan public interest. Realitas ini semakin menunjukkan kenyataannya ketika para penguasa lebih menyukai melakukan kesepakatan antar elit politik ketimbang mendengarkan suara-suara dari akar rumput (grassroat) dalam mengeluarkan kebijakan politiknya. Mereka (seolah) meyakini suatu asumsi bahwa meski kedaulatan ada ditangan rakyat, tetapi pengelolaan atas kedaulatan tersebut tetap terletak pada para pemimpin politiknya.

Atas dasar asumsi ini, mereka lebih memberikan ‘ruang’ bagi elite politik untuk bernegoisasi atas dasar kepentingannya masing-masing, daripada mendengarkan ‘derita’ rakyat. Vox Populi Vox Dei, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan dalam alam demokrasi, tidak lagi mempunyai makna apapun, kecuali ia telah direduksi dan dimanipulasi oleh kepentingan elit-elit politiknya. Apalagi keadaan ini didukung oleh legalitas formal yang sungguh sangat memberi peluang terjadinya distorsi kepentingan rakyat atas nama konstitusional.

Padahal  raison d’etat kekuasaan sesungguhnya menuntut agar kepentingan negara tidak dihambat oleh kepentingan pribadi penguasa dan elit politiknya. Penguasa hanya akan perkasa apabila ia memiliki virtu, yaitu kekuatan hati untuk mengorbankan segala apa demi kepentingan negara. Seorang penguasa yang memandang kekuasaannya sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan sanak saudaranya, yang menganggap rakyatnya sekedar sebagai ladang untuk digarap demi keuntungannya sendiri, jelas tidak mempunyai wawasan sebagai seorang negarawan (Magnis Suseno, Kompas, 15/09/1997).

###

Reformasi –disadari- awalnya memang memberikan sejumlah harapan. Harapan tersebut ternyata beriringan dengan munculnya kecemasan. Betapa tidak ? Selama hampir delapan tahun reformasi dijalankan, ternyata tidak membawa perubahan substantif dalam penyelenggaraan kekuasaan negara yang justru berakibat pada semakin terpuruknya negeri ini dalam krisis politik dan ekonomi yang kian terakumulasi.

Reformasi ternyata hanya melahirkan sejumlah politisi dan partai politik, tapi ironisnya tidak melahirkan negarawan. Semula saya berkeyakinan, bahwa lahirnya sejumlah politisi akan membawa ‘angin segar’ bagi kehidupan berpolitik yang demokratis dan berpihak pada kepentingan bangsa, apalagi mereka banyak yang berasal dari kalangan akademisi dan ulama (kyai). Terintegrasinya kedua elemen penting dalam masyarakat ke dalam politik (partai politik) semula diyakini semakin membuat masyarakat politik kita menjadi cerdas-rasional sekaligus bermoral. Politisi dari kalangan akademisi diharapkan mampu memberi wajah rasional-ilmiah dalam berpolitik, sementara dari kalangan ulama diharapkan sanggup mengubah image negatif politik yang ‘buruk’ menjadi lebih baik dan bermoral. Integrasi keduanya –seharusnya- dapat melahirkan sistem politik yang berperadaban.

Sayangnya harapan itu sekarang hilang, berganti dengan kecemasan. Politik adalah politik. Dimana, politik selalu mempunyai logikanya sendiri yang seringkali unpredictable (tidak teramalkan). Logika politik adalah logika (kalkulasi) kekuasaan. Logika tersebut didukung dengan –meminjam terminologi Nietszche- naluri abadi dari manusia yaitu kehendaknya untuk berkuasa (will to power). Dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan, maka politisi biasanya akan menggunakan cara-cara yang tidak masuk akal bahkan cenderung melupakan hati nurani.

Riswandha Imawan (2000) sangat tepat ketika mengatakan bahwa demi kekuasaan, aktor politik rela berbohong dan meraihnya melalui prinsip menghalalkan segala cara. Maka tidak berlebihan bila orang awam berpendapat, bahwa untuk menjadi politikus ulung seseorang harus mempunyai bakat kriminal. Logika yang demikian mengubah ‘panggung’ politik menjadi –meminjam istilah Komaruddin Hidayat (Kompas, 3/10/03) panggung gladiator. Yaitu, menjadi arena perebutan  kekuasaan dengan cara saling memfitnah, menjegal dan membunuh lawan. Demi sebuah kemenangan dan kepentingannya sendiri, segala cara ditempuh untuk menjungkalkan lawan dari panggung kekuasaan.

Negeri ini menjadi surplus politisi tetapi minus negawaran. Stok politisi sangat melimpah, tapi negeri ini kehilangan politisi yang berjiwa negarawan. Seorang politisi hanya akan berkutat pada problem kekuasaan (kursi) yang sifatnya lebih kalkulatif dan transaksional. Realitas politik kita sebenarnya membenarkan situasi adanya hiruk pikuk pertarungan perebutan kursi kekuasaan (kepresidenan maupun parlemen), sehingga melupakan tugas pokoknya reformasi kehidupan berpolitik secara mendasar. Sementara, seorang negarawan jelas tidak lagi beorientasi pada kursi kekuasaan, melainkan lebih disemangati oleh keikhlasan berpolitik untuk kepentingan bangsa dan negara an sich yang steril dari intervensi partai politik maupun kepentingan tertentu di luar kepentingan negara, meski mereka berasal dari partai politik tertentu.

Padahal setiap kekuasaan menurut Ignas Kleden (1999: 7) sudah dengan sendirinya menyiapkan jebakan bagi orang yang memilikinya. Semakin besar kekuasaan semakin rumit dan berbahaya jebakan tersebut, sehingga sang penguasa hampir tidak dapat meloloskan diri daripadanya tanpa dibantu orang lain. Untuk seseorang yang berada dalam kekuasaan maka jebakan tidak pernah ditanggapi sebagai jerat penyelewengan, tetapi lebih sebagai privilese dan fasilitas yang dianggap melekat pada kekuasaan. Karenanya menjadi wajar jika selalu saja muncul perilaku aji mumpung tatkala seorang politisi memegang jabatan politik.

Itulah sebabnya setiap kekuasaan, dimanapun dan kapanpun harus dicurigai. Karena jenis penguasa manapun yang dipilih, dia tidak dapat diharapkan untuk memperhatikan kepentingan rakyat dan negara pada setiap saat. Karenanya, sudah sepantasnya kita berkewajiban untuk mengontrol kekuasaan pengelolaan negara dari tingkat paling rendah (Desa) sampai yang paling tinggi (negara). Kekuasaan eksekutif dan legislatif harus tetap dikontrol dan diawasi, karena keduanya sangat berkepentingan dengan pengelolaan kekuasaan negara. Yang lebih bahaya lagi keduanya berpotensi untuk melakukan korupsi secara massal.

####

Demikianlah fakta kebangsaan kita –akhir-akhir ini. Fakta dimana negeri ini lebih banyak disesaki oleh nalar politik ketimbang nalar negarawan. Pemimpin di negeri ini lebih banyak menjadi bagian dari partai politik ketimbang menjadi pemimpin sebuah bangsa. Tampaknya kita harus banyak belajar untuk menjadikan ruang politik kita lebih banyak diisi dengan politik kebangsaan ketimbang politik kekuasaan.

Bukankah kita pernah melihat secara langsung terpilihnya Barack Obama –November 2008 lalu- ketika mengalahkan Hillary Clinton dalam konvensi di Partai Demokrat dan mengalahkan Mc Cain di pemilihan presiden. Amerika Serikat –negeri yang menganggap sebagai kampiumnya demokrasi- ini seolah menunjukkan bahwa seorang negro –punya hubungan dengan Muslim- juga bisa menjadi pemimpin di negeri ini, melalui proses demokratis. Bahkan dengan lapang dada, semua rival politiknya mengakui kemenangan Obama tanpa harus merasa sakit hati.

Coba lihat saja. Hillary Clinton yang kalah dalam konvensi di Partai Demokrat tetap bersemangat memenangkan Obama sebagai bagian dari partai democrat. Pasca pilpres pun, Obama menjadikan Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri sesuai dengan kepakarannya, bukan karena balas budi.

Anda bayangkan saja jika kebesaran hati itu ada di negeri ini. Pastilah bangsa ini dapat dikelola berdasarkan profesionalitas, bukan sekedar balas jasa. Yang terjadi kan tidak demikian, seorang yang gagal menjadi capres di sebuah parpol dan kalah dalam kovensi, tiba-tiba bisa beralih mencari dukungan parpol lain. Begitu seterusnya. Parpol seolah tidak lagi menjadi alat perjuangan ideology, tetapi hanya sekedar alat untuk meraih kekuasaan belaka. Bukankah setiap parpol didirikan selalu mengusung ideology masing-masing (kecuali jika memang ideologinya pragmatic-oppurtunistik). Maka ketika seorang pemilih memilih parpol tersebut selayaknya dia memang sudah paham apa yang akan diperjuangkannya. Tetapi ternyata ini hampir tidak ditemukan dalam ideology partai politik kita. Memilih parpol seperti memilih orang tanpa ideologi. Padahal ideologi menjadi sesuatu yang sangat penting dalam perjuangan politik kebangsaan kita.

Itulah sebabnya, pemimpin nasional ke depan haruslah seseorang yang memang memiliki keteguhan ideologi dan jelas perjuangan ideaologisnya. Siapapun dia, setelah terpilih secara demokratis, haruslah kita dukung dan dikawal agar tidak menyelewengkan kekuasaannya. Tidak boleh lagi terjadi politik pembiaraan terhadap kekuasaan. Karena kultur pembiaraan justru akan kian menjerumuskan dan menyelewengkan tiap kekuasaan. Saatnya kita peduli terhadap kekuasaan bukan untuk berebut dan merebut kekuasaan, melainkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Kaum muda memiliki tanggungjawab untuk mengawal kekuasaan agar benar-benar berpihak bagi kebangsaan kita.

###

Karakter Pemimpin yang Kuat

Berharap situasi ketidakmenentuan kebangsaan ini akan segera berakhir. Minimal diawali dengan terpilihanya sosok pemimpin nasional yang sesuai dengan harapan kita. Apapun keadaanya, kita selalu berharap terjadi perubahan politik –maaf jangan diasumsikan selalu perubahan kepemimpinan-. Kalau boleh ditafsirkan secara gampang, perubahan yang diperlukan itu lebih terfokus kepada kepemimpinan nasional. Artinya, konsep tentang kepemimpinan nasional yang matang haruslah menjadi platform bersama kita untuk Indonesia lebih baik. Sosok pemimpin yang dianggap kuat, dianggap bisa melindungi-sering dimanifestasikan secara fisik-lebih disukai rakyat daripada pemimpin yang berkarakter sebaliknya.

Mengapa kita butuh pemimpin yang kuat? Sukardi Rinakit (2008) mengatakan dalam sejarah filsafat politik modern, pemikiran tentang kepemimpinan politik juga dimulai dari tokoh besar.
John Gardner dalam On Leadership (1990) menulis, "Sebagian besar dari kita, meski tersembunyi, memiliki ingatan akan tokoh yang superkuat seperti dewa yang melindungi kita semasa kecil, dan sebagian dari kita tumbuh besar dengan tetap mengharap munculnya tokoh-tokoh seperti itu." Psikolog Freud dalam Moses and Monotheism (1967) menyindir kecenderungan itu dengan sarkastis, "Sebagian besar orang rindu otoritas kuat di mana mereka bisa merasa kagum, atau otoritas yang mendominasi mereka bahkan kadang memperlakukan mereka dengan cara tidak baik (ill-treats them)... seperti kerinduan terhadap figur ayah...."

Siapakah pemimpin yang memiliki karakter kuat itu. Setidaknya ada beberapa catatan: 1) dari sisi sang pemimpin harus memiliki karakter tambahan yang disebut sebagai kemampuan transformatif. Ada dua kategori pemimpin dalam konteks ini, pemimpin yang transaksional dan pemimpin yang transformatif (James M Burns, Leadership, 1978). Pemimpin yang transaksional menggambarkan hubungannya dengan konstituen sebagai transaksi jual-beli. Pemimpin membeli suara dan konstituen menjual suara. Akibatnya, semua kebijakan politiknya hanya bersifat jangka pendek, sering kontradiktif, dan menguntungkan kelompok tertentu saja. Pemimpin yang transformatif lebih tanggap terhadap "kebutuhan yang tersembunyi", yang di dalamnya ada pertimbangan pencerahan politik, mendorong konstituen untuk menemukan jalannya sendiri, dan lain-lain.

2) kepemimpinan nasional juga harus dilihat bukan hanya dalam urusan pemilu presiden atau legislatif, tetapi juga kepemimpinan yang muncul di arena masyarakat sipil. Dalam kalkulasi John Gardner, misalnya, untuk menjamin pengembangan demokrasi diperlukan setidaknya satu persen dari semua warga negara dewasa sebagai pemimpin di semua lini kehidupan. Dengan jumlah pemilih sekitar 150 juta jiwa, diperlukan 1,5 juta orang sebagai pemimpin!  Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan melakukan reformasi dan investasi dalam pendidikan. Meski UUD NRI Tahun 1945 kita telah menentukan target anggaran 20 persen, arah pendidikan (politik) nasional harus menjadi prioritas penting. Salah satu keluaran pendidikan nasional adalah generasi yang mandiri, produktif, serta kritis.

3) Agar kepemimpinan yang kuat tidak mendistorsi demokrasi, harus ada kekuatan oposisi (baik dalam masyarakat maupun parlemen) yang efektif dan konstruktif. Kekuatan oposisi dalam masyarakat terutama diperlukan dalam bentuk koalisi antara kekuatan masyarakat yang pro-demokrasi. Mereka adalah kekuatan yang peduli terhadap isu-isu publik (Nanang P Mugasejati, Kompas, 2008)

Kalau kita bercermin dari keberhasilan gerakan reformasi 1997 lalu, sesungguhnya terkuak beberapa idealisme yang sebelumnya cenderung mimpi yang mustahil menjadi kenyataan. Idealisme tersebut adalah (1) kemenangan moral atas kekuasaan, (2) kejayaan reformasi atas status quo, (3) kegemilangan masa depan atas masa lalu, serta (4) kemenangan hati nurani rakyat atas kekecewaan terhadap berbagai penyelewengan oleh pemerintahan sebelumnya (Edwin Tobing, Kompas, 26 Februari 2004).

Berdasar pada kondisi tersebut dan keyakinan bahwa reformasi merupakan titik awal bagi kebangkitan nasional kita, setidaknya ada empat tanggung jawab yang diemban oleh pemimpin nasional.  Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral.  Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi.  Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu. Dan keempat, mewujudkan kemenangan nurani rakyat.

Idealisme yang demikian haruslah menjadi common platform bangsa ini dalam mencari pemimpin nasional. Normatif memang, tapi itulah paradigma yang harus diperjuangkan. Bagaimanapun beratnya, pemimpin nasional haruslah mampu merepresentasikan diri sebagai sosok yang memimpin bukan menguasai. Kita butuh pemimpin, bukan (sekedar) penguasa. Karenanya, dia memang haruslah yang memiliki karakter kepemimpinan. Lalu siapakah manusia setengah dewa tersebut? Wallahu’alam bis showab.

Disampaikan dalam dalamSeminar Kebangsaan & Sidang Umum Mahasiswa VII (SUM)

PARMA (Parlemen Mahasiswa) ST YPM, dengan tema “Membangun Kultur Politik Dalam Menciptakan Pemimpinan yang Ideal dan Pancasilais, 23 Desember 2013

Kebetulan sebagai pengajar Filsafat dan Etika di Universitas Airlangga dan bukan peminat politik kekuasaan


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun