Dalam dunia dewasa ini, terutama di zaman post truth, kebenaran menjadi relatif. Kebenaran tidak lagi diakui sebagai milik instansi atau lembaga tertentu, tetapi menjadi kebenaran semua individu. Artinya, setiap individu manusia meng-klaim kebenarannya masing-masing sesuai dengan dunia kehidupannya.Â
Seorang seniman, misalnya, mengabdi kebenaran dengan caranya sendiri. Seorang petani dan nelayan akan menjelaskan kebenaran versi dia dengan segala usaha untuk mengabdikan diri pada kebenaran. Pertanyaan, apakah kebenaran dalam arti yang diterima umum sudah tidak ada, atau kemalasan berpikir manusia yang membuat usaha untuk mendekatkan diri pada kebenaran menjadi relatif?
Mengabdi kebenaran harus ada dalam sikap dan perbuatan. Seniman, atau akademisi yang jujur akan kelihatan dari tutur kata dan perilakunya. Seniman yang mengabdi kebenaran akan selalu kreatif dan menghasilkan karya yang bernilai seni tinggi.Â
Dia tidak akan pragmatis dan tidak akan meniru hasil karya seni orang lain, karena diri yang jujur adalah diri yang selalu mengatakan ya atas kebenaran, tanpa kompromi. Sebab, sikap kompromi akan menelurkan ketidakjujuran, malapetaka dan ketidakmampuan individu untuk mengabdikan diri pada kebenaran.Â
Akademisi atau peneliti yang mengabdi kebenaran, misalnya, akan selalu jujur dengan hasil karya tulisnya. Dia tidak akan pernah melakukan plagiasi atau membohongi publik dengan data statistik yang salah. Karena, kebohongan seorang akademisi akan mendegradasi kualitas diri dan menyesatkan publik yang cinta ilmu pengetahuan.Â
Oleh karena itu, mengabdi pada kebenaran berarti juga melakukan sesuatu dengan jujur tanpa tedeng aling-aling, tanpa kepentingan, sebab hanya kepentingan akan kebenaran yang diperjuangkan. Kebenaran adalah fenomen, dia tidak pernah menampilkan diri secara tuntas. Kebenaran yang tuntas, bukanlah kebenaran hakiki, karena nilainya tidak tuntas ditampilkan secara serentak pada waktu yang sama.Â