Mohon tunggu...
A. Dardiri Zubairi
A. Dardiri Zubairi Mohon Tunggu... wiraswasta -

membangun pengetahuan dari pinggir(an) blog pribadi http://rampak-naong.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cukup, Kekayaan yang Sebenarnya? [2]

1 Agustus 2012   07:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tulisan terdahulu, Pilih Mana, Kaya atau Cukup?, saya sudah menjelaskan bagaimana ketika seseorang menjadikan kekayaan sebagai perpektifnya. Tulisan berikut ini akan mengurai perspektif satunya, pandangan serba cukup.

Ibarat ideology, cukup adalah pandangan moderat. Pandangan yang berada di tengah-tengah atau dalam terminology politik disebut tidak ekstrem. Dalam konteks kekayaan, cukup berarti tidak [merasa] kurang dan tidak berlebihan. Prinsipnya, pandangan yang menyeimbangkan makna kekayaan.

4 Hal Pembentuk Pandangan Cukup

Cukup sebagai sebuah pandangan hidup muncul juga tidak secara instant. Ia merupakan hasil pergumulan dari pengalaman, lingkungan, dan latar belakang pendiidikan. Tetapi setidaknya saya mencatat ada empat hal pembentuk –atau yang mendasari— pandangan cukup.


  1. Cukup sebagai pandangan hidup muncul sebagai hasil pandangan bahwa harta, kekayaan, atau materi merupakan hasil dari kerja keras manusia dan pemberian Sang Pemberi Rizki. Buru-buru harus dikatakan di sini, bahwa Allah yang menentukan rizki. Bekerja keras dan banting tulang sekali pun, jika Allah tidak berkenan, ya… tak memperoleh apa-apa. Yang ingin dikatakan di sini, kita tak boleh sombong seolah kekayaan hasil kerja keras kita semata.
  2. Karena merupakan pemberian Allah, maka ia akan menerimanya. Ia akan mensyukurinya. Ia akan berpandangan positif bahwa pemberian Tuhan itu sudah merupakan kehendak-Nya. Ia akan menghindar dari rasa tidak puas, selalu menuntut lebih, atau perasaan selalu merasa kurang. Atau yang lebih ekstrem, menghindar untuk menyalahkan Allah, ketika rizki yang diterimanya tidak sesuai dengan harapannya. Inilah mungkin dalam kebudayaan jawa yang disebut “nrimo”, atau dalam budaya Madura“pasabbar-panarema” [sikap sabar dan menerima]. Sayang sekali, oleh banyak orang kearifan local ini dianggap sikap fatalis.
  3. Harta dan kekayaan tidak dianggap sebagai tujuan. Harta dan kekayaan dianggap sebagai alat untuk memampukan hubungan manusia dengan Tuhan-nya, dan memberi manfaat bagi sesama. Filosofi cukup sebagai pandangan hidupnya akan menjadikannya amanah dalam mengelola harta dan kekayaannya. Ia akan menghindar dari sikap berlebihan. Jika lebih, ia akan bagikan kepada orang yang membutuhkan sebagai kelanjutan dari pandangan cukup yang dianutnya, yaitu mencukupi orang-orang yang membutuhkan.
  4. Karena harta dan kekayaan tidak dianggap sebagai tujuan, maka ia sendiri merdeka. Ia sendiri bebas dan tidak dalam posisi budak di hadapan harta dan kekayaannya. Makanya ia tidak akan mumet dan tidak risau dengan harta dan kekayaannya. Ia bekerja juga dibingkai ketenangan. Tidak tergesa-gesa dan tidak berpikir instant.

Cukup, Haruskah Menunggu Kaya?

Pandangan cukup adalah cara pikir dan sikap mental. Siapapun bisa memiliki pandangan ini, lepas dari tingkat social-ekonominya. Mungkin ada yang berpendapat, pandangan cukup hanya untuk orang yang sudah dianggap kaya. Saya berpendapat tidak.

Jadi orang yang tingkat kesejahteraannya biasa saja, atau bahkan –mohon maaf—miskin sekalipun pandangan cukup ini bisa dimiliki. Tentu makna cukup tidak seragam antar satu orang dengan orang lain. karena sekali lagi pandangan cukup adalah sikap mental yang maknanya lebih bersifat ke dalam atau kepada pemilik pandangan itu. Jadi pandangan cukup bukan dalam arti membandingkan dengan orang lain, meski hal ini juga bisa dilakukan, misalnya dengan berempati kepada orang yang lebih tidak mampu dan kurang beruntung.

Saya sering bertemu dengan orang yang secara ekonomi biasa saja, tetapi ia memiliki kecerdasan hati dengan selalu bersyukur kepada Allah. Hidupnya tenang dan bahagia. Senyum menebar. Dan wajahnya cerah. Tak terlihat dalam pancaran wajahnya sikap ketergesaan dan instant, meski dalam hidupnya ia tetap bekerja keras. Jadi tak benar, menurut saya, jika pandangan cukup baru diusahakan setelah kaya.

Cukup, Kekayaan Sebenarnya?

Saya menyaksikan orang yang memiliki filosofi ini begitu lepas dan tak terbebani. Karena pandangan cukup sebenarnya merupakan refleksi dari kecenderungan bathinnya yang selalu digerakkan oleh rasa syukur kepada Allah, Sang Pemberi dan Pemilik harta dan kekayaan. Harta dan kekayaan yang ia cari yang barokah. Yang bisa memberi manfaat tidak saja bagi ia sendiri, tetapi juga bagi orang lain.

Pandangan cukup juga menuntunnya untuk selalu menjaga keseimbangan. Ia tidak disibukkan oleh gangguan pikiran dengan selalu membandingkan terhadap kekayaan orang lain. Ia tak bergeming oleh putaran mesin kerakusan yang terkadang menggilas batas etika dan moralitas. Ia yakin menjaga keseimbangannya. Ketika bilang CUKUP, berarti ia TIDAK KURANG dan TAK MENUNTUT LEBIH. Nah, bukankah cukup berarti kekayaan yang sebenarnya? [bersambung…]

Matorsakalangkong

Pulau Garam, 31 Juli 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun