"Senangku lihat gerombolan orang saleh,", ayah kembali mengigau.
 Saya yang saat itu sudah sangat putus asa, langsung mengambil air wudu dan salat tahajjud. Di sujud terakhir, saya berdoa supaya Allah tidak mengambil ayah terlebih dahulu dengan airmata yang semakin deras mengalir. Sampai terdengar bunyi azan saya tidak henti-hentinya menangis dan terus memijit kaki ayah  yang sudah dingin. Ayah  bangun saat mendengar bunyi azan dan meminta saya  mengambilkan sarung salatnya.
Ayah melaksanakan salat subuh dengan kondisi berbaring. Setelah menunaikan salat subuh, masih dengan napas yang tersengal-sengal, ayah  memberi tahu bahwa saya tidak boleh menangis. Ayah  juga berkata bahwa dia sangat bahagia mempunyai istri dan anak-anak yang salehah. Bukannya berhenti, airmata saya justru semakin deras mengalir.
      Saat waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 WITA, handphone ayah berbunyi. Kakak ayah  yang menelpon.
"Halo,,"
 Saya ingin sekali mengucapkan kata halo, tetapi hanya isakan yang keluar.
"Kenapa mi abba Nak?," terdengar suara di seberang sana.
"....." lagi-lagi saya tidak dapat mengucapkan sepatah kata dan hanya terus terisak.
"Oh sudah mi pale Nak, tunggumi Puang Abba ke situ,", setelah mengucapkan itu sambungan telepon pun berakhir.
Saat waktu menunjukkan pukul 06.15 WITA, ibu  bersama Ummi Alif datang ke rumah sakit dan langsung menenangkan saya. Kepala saya rasanya sakit sekali. Semalaman menangis dan belum tidurlah penyebabnya. Saya yang langsung terduduk di ranjang satunya hanya bisa diam saat melihat Ummi Alif memarahi perawat yang mengurus ayah.  .
      Saya terbangun pukul 10.30, dan melihat kondisi ayah yang semakin melemah. Saya juga melihat ibu  yang matanya tidak kalah bengkak dari mata saya, masuk sambil membawa sebuah kertas di tangannya.