Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bangsal Covid

16 April 2021   18:42 Diperbarui: 16 April 2021   18:48 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Nurul Awaliah Syamsuri

"Kamar Abba sempit, panas juga," ucap saya dengan nada mengeluh dan langsung mendapat teguran dari ayah.

"Ndak boleh begitu, Nak! Ini saja sudah bersyukur sekali ki karena masih ada yang mau terima Abba," ucap ayah  sambil membenarkan letak selang oksigennya yang melorot.

            Sudah dua hari ayah  dirawat di ruang filter ini. Saya pikir saat ayah   sudah dirawat di ruang filter setidaknya saya sudah bisa sedikit bernapas dengan lega. Nyatanya tidak, malam kedua ayah saat ayah dirawat di ruang filter, kondisinya kembali memburuk.. Ayah kembali kehilangan kesadaran, Matanya tetap terbuka, tetapi saat diajak berbicara jawaban  yang diberikan sudah tidak nyambung. Saya hanya bisa menangis melihat kondisi ayah yang seperti itu. Pikiran-pikiran negatif sudah mulai membayang-bayangi saya.

"Bagaimana kalau ayah saya meninggal? Dan hanya ada saya sendiri di sini yang menjaganya,".

Saat itu waktu menunjukkan pukul 02.30 WITA, saya mengambil handphone untuk menghubungi ibu, tetapi langsung dicegah oleh ayah.   

"Jangan mi telpon Ummi, Nak! Kasian juga itu Ummimu sakit, harus juga istirahat" ucap ayah.

"Bagaimana hiks,, meka hiks,, pale? Ndak kutau hikss,, mauka hikss bagaimana Abba,", ucap saya  dengan nada yang tersendat-sendat karena menangis.

"Pergi, coba cari perawat Nak. Bilang, tolong abba-ku," ucapnya dengan nada yang sangat lemah dan mata yang sudah hampir terpejam.

Saya langsung berlari keluar menyusuri lorong rumah sakit yang lampunya remang-remang. Sebenarnya saya adalah orang yang sangat penakut,  bahkan tidak berani mengunci pagar rumah sendiri. Tetapi saat ini rasa takut saya hilang entah ke mana. Saya terus bolak balik di lorong rumah sakit berusaha menemukan perawat. Tetapi nihil, tidak ada satu pun perawat yang berjaga malam itu. Saya kembali ke kamar tempat ayah  dirawat dengan tangisan yang semakin deras.

"Ndak ada orang Ba hikss,, mau meka apa ini hikss," ucap saya dengan nada yang putus asa.

Abba tidak menjawab pertanyaan saya. Ayah  terus-terusan membaca ayat-ayat Alquran yang saya ketahui bahwa itu adalah ayat-ayat kematian. Dengan napas yang tersengal-sengal (padahal ayah  sudah dipasangkan selang oksigen dengan tekanan yang paling tinggi) ayah tersenyum, padahal matanya sudah tertutup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun