Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi Bukan Alasan, Belajar Peka Itu Keharusan

29 September 2020   09:54 Diperbarui: 29 September 2020   10:02 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi sudah hampir setengah tahun lamanya. Sampai akhirnya muncul istilah new normal. Kalau kita flasback sebentar tentu banyak sekali proses yang kita lalui untuk melatih kesiapan personal pun komunitas. Komunitas sosial, komunitas pendidikan dan komunitas budaya.

Kampung mulai ditutup, tidak ada keluar masuk tamu dan lain sebagainya. Dengan alasan mencegah virus. Sampai hari ini ketika ada orang sakit dan meninggal di rumah sakit, tidak tanggung-tanggung vonisnya adalah covid. Walaupun sakit yang didera jauh sebelum covid.

Protokol kesehatan, seperti hal baru dalam benak. Padahal ini adalah hal lama, bahkan nenek moyang kita turun temurun mengajarkan tentang protokol kesehatan. Wijik, gentong pancuran di depan rumah, menanam tananaman tertentu di depan rumah: pepaya, mangga, bunga-bunga,  kasembadan atau tata duduk bertamu, dan lain sebagainya.

Lantas apa sebenarnya yang menjadi prioritas dalam kondisi hari ini? Karir, pendidikan, kekayaan, sukses, atau apa? Dengan kondisi yang seakan memberi skat. Kita tidak perlu kritik sana sini. Yang penting adalah membangun ruang sadar. Peka lebih tepatnya. Karena kesadaran saja belum cukup tanpa kepekaan.

Tolak ukur kita tidak lain adalah bapak ibu kita, atau sesepuh kita. Pada dasarnya mereka memiliki cara pandang dan sudut pandang yang jauh ke depan. Survive, bukan melejit dari pada yang lain. Pandangannya terukur. Dan itu diakarkan kepada kita. Prinsip dasarnya adalah peka.

Bapak dan ibu akan mengasihi anaknya, jika hujan maka tubuhnya memayungi anaknya dari terpaan hujan. Panas, maka akan berubah menjadi angin sejuk yang melegakan anak. Itu semua terwujud dalam satu ruang kepekaan. Turunannya adalah kewajiban.

Kondisi apapun akan menjadi lebih siap. Karena kita diajarkan kepekaan. Tidak sekolah, bukan ukuran. Ukurannya adalah kepekaan atas kondisi. Belajar tidak melulu di bangku sekolah. Membaca agaknya menjadi paling efektif untuk dibiasakan di rumah.

Dengan kata lain, membangun kesiapan mental apalagi di masa pandemi adalah satu hal yang lebih penting ketimbang membangun komoditas-komoditas impian yang kompetitif. Sosrokartono pernah berpesan kepada RA. Kartini agar menemukan ruang yang tepat untuk dirinya, melalui permenungan dan pembacaan. Sehingga dua hal ini agaknya oenting untuk dibiasakan di rumah.

Anak-anaka, adalah personalitas unik. Memiliki rasa ingin tahu yang besar. Memiliki potensi yang perlu dimunculkembangkan. Tidak melulu prespektif kompetisi semata. Karena pendidikan bukan semata-mata jual beli nikai dan peringkat. Pendidikan adalah pembiasaan, pendidikan adalah latihan kerjasama, pendidikan adalah kesadaran, dan pendidikan adalah ruang belajar tanggung jawab.

Oleh sebab itu pandemi yang hampir menuju setengah tahun lebih ini, perlu kita ambil pelajaran penting yang selama ini bisa jadi dihiraukan atau paling tidak bukan menjadi prioritas; pelajaran untuk menyiapkan mental tanggung jawab dan kepekaan. Untuk peka kita tidak perlu stimulus, untuk peka tidak perlu ditimpa problem, tetapi kesadaran itu muncul secara otomatis dari ruang bawah sadar kita sebagai manusia. Kenali diri sendiri, di masa pandemi, agar tetap mampu berdikari. Semoga selamat sejahtera, bahagia selalu, di sehatkan selalu. Amin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun